By : Wolio-Shopfloor Manajemen & Genba Kaizen Specialist.
Dunia berjalan dalam suatu proses transisi dari persaingan
lokal menuju persaingan global yang kian ketat dan membutuhkan karakteristik
unik multinasionalitas agar dapat bertahan didalamnya karena globalisasi selalu
berujung pada kompetisi yang ketat dan terkadang diselimuti ketidakpastian.
Masyarakat Jepang menyadari
bahwa setiap hari adalah tantangan baru yaitu perbaikan untuk perubahan lebih
baik. Bahkan dikalangan pelaku bisnis dikenal memiliki moto sebagaimana yang dikatakan seorang pakar kaizen Massaki Imai, yaitu;
“Engineers at Japanese plants are often warned, ‘There will be no progress if
you keep on doing things exactly the same way’” (para insinyur di Jepang sering
diingatkan akan sebuah moto, ‘Tidak pernah akan ada kemajuan jika anda
mengerjakan sesuatu dengan cara yang sama dari waktu ke waktu). Kaizen menganjurkan untuk tidak boleh diam
karena, pembangunan berkelanjutan harus dimulai dengan perbaikan dari hal-hal
yang kecil yang sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang. Tidak ada
usaha yang kecil akan memperoleh hasil yang besar terkecuali usaha kecil
tersebut di dilakukan sesering mungkin.
Awal keberadaan kaizen, didasari budaya leadership Jepang klasik yang bersumber dari kredo “bushido” dari kelompok kesatria Jepang yang dikenal dengan samurai, suatu kelompok dengan posisi semacam leader dalam masyarakat Jepang kuno yang menanamkan tujuh nilai leluhur yang telah diterapkan sejak 1100 tahun yang lalu yaitu Chu (tugas dan kesetiaan) Gi (adil & bermoral), Makoto (tulus ikhlas), Rei (sopan santun), Jin (kasih sayang), Yu (keberanian heroik) dan Meiyo kehormatan).
Sebagai suatu falsafah hidup masyarakatnya, pemahaman dan implementasi kaizen tidak saja diamalkan dalam kehidupan kerja di perusahaan maupun pemerintahan, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial, kehidupan rumah tangga, yang mengarahkan agar selalu berfokus pada upaya perbaikan terus menerus secara bertahap, sekecil apapun perbaikan itu pasti akan berguna.
Untuk mewujudkan ketiga aspek diatas, metoda kerja dan sumberdaya yang meliputi tenaga kerja, informasi, peralatan dan material harus dikelola dengan tepat yang pengelolaannya membutuhkan standar. Untuk menjamin standar yang baik, setiap kali terjadi masalah atau ketidakwajaran harus dilakukan identifikasi untuk mengetahui akar permasahan yang timbul dan segera ditanggulangi dengan cepat, sekaligus mengubah standar yang ada dan selanjutnya menerapkan standar baru serta mencegah terjadinya suatu permasalahan yang sama tidak terulang lagi. Dengan demikian standar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kaizen sebagai dasar dari perbaikan berkesinambunagan yang dilakukan sehari-hari.
Awal penerapan filosofi kaizen dalam mengoptimalkan kinerja TPS, peran kaizen sangat serius mengarahkan seluruh karyawan untuk melihat bahwa tidak semua kerja bernilai tambah, oleh sebab itu elemen kerja yang tidak memiliki nilai tambah harus diperangi karena akan berdampak pemborosan yang dikenal dengan Mura (ketidakseimbangan proses kerja), Muri (kelebihan beban kerja) dan Muda yang merupakan 7 pemborosan ("7 waste") yang harus dihilangkan meliputi ; 1) produksi berlebihan (overproduction), (2) persediaan berlebihan (excess inventory), (3) sisa bahan dan pengerjaan ulang (scrap and rework), (4) waktu tunggu (waiting time), (5) pengangkutan berlebih (excess conveyance), (6) gerakan berlebihan (excess motion) dan (7) pemprosesan berlebihan (overprocessing). Ketiga fenomena diatas merupakan rintangan yang berpotensi menghambat produktifitas proses produksi dan terciptanya qualitas produk yang baik.
Dalam berbagai kasus ketika
seorang karyawan belum menemukan potensi perbaikan maka memulai dengan konsep
dasar kaizen yang dikenal dengan 5S adalah ide yang terbaik, Konsep ini
menggunakan 5 kata bahasa Jepang yang berawal huruf S yaitu ; seiri
(ringkas), seiton(rapih), seiso(resik), seiketsu(rawat)
dan setsuke (rajin). Konsep 5S lebih sekedar penanaman disiplin ditempat
kerja yang berpotensi dapat menemukan peluang untuk melakukan perbaikan. Konsep 5S sekarang telah menjadi
benchmark yang paling populer ditatanan perusahaan maupun pemerintahan
Beberapa orang akan mengatakan segalanya dan juga tidak sedikit yang akan mengatakan "tidak". Bahkan bagi mereka yang berasal dari instansi pemerintahan secara tegas akan bertanya ; apakah kaizen dapat diterapkan di pemerintahan? maka jawabannya, kaizen adalah suatu pendekatan yang berorientasi pada pendekatan manusiannya (personal approach) untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan dan merubah kultur organisasi menjadi lebih baik. Bukankah hal tersebut juga sangat dibutuhkan dalam pengelolaan manajemen pemerintahan. ( Hasmina Syarif *** )
Keunggulan
manajemen Jepang yang berkarakter “cost-saving” dan "hi-quality"
dalam menghadapi persaingan global tidak lebih karena penerapan manajemen yang
baik yang diperoleh melalui kerja keras, terbuka dan mau belajar dari negara
lain pasca kekalahan negara tersebut di PD-II tanpa mengabaikan identitas nilai
kultur leluhur mereka.
Karakter yang menonjol yang menjadi sumber keunggulan
negeri matahari terbit itu adalah tertanamnya “filosophy kerja kaizen”, yaitu
keinginan untuk selalu melakukan perbaikan yang tidak pernah berakhir yang
telah mendarah daging bahkan sudah merupakan cara hidup dikalangan masyarakat,
pebisnis maupun pemerintahnya.
Kaizen Workshop event |
Jadi tidak heran mengapa Jepang
menjadi negara yang unggul dan sangat cepat melejit dalam segala hal, cukup
matang menghadapi globalisasi, hebat dalam berkarya, mantap dalam kedisplinan,
handal dalam menghadirkan produk yang unggul, konsisten terhadap nilai-nilai budaya leluhurnya dan percaya bahwa waktu adalah
penentu segalanya. Filosofi yang dipegang penuh begitu menyatu dengan tekad
kuat yang dimiliknya bahwa segala sisi dari kehidupan manusia sudah seharusnya
berubah ke arah yang lebih baik dan kaizen hadir sebagai kunci keberhasilan
pembangunan Jepang khususnya dalam industri yang berbasis teknologi.
Manajemen
yang berbasis Kaizen saat ini begitu berkembang diterapkan di Jepang
bahkan sudah merambat dan menjangkau luas kebeberapa negara lainnya di Eropa, Amerika
dan di Asia. Diberbagai mas media di Jepang
mulai dari koran-koran, radio, serta televisi hampir setiap hari diserang
dengan pernyatan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pengusaha, pejabat
pemerintah bahkan politisi seperti pernyataan mengenai kaizen tentang pertimbangaan perdagangan dengan
negara-negara lain, kaizen tentang sistem kesejahteraan sosial dan kaizen
tentang peningkatan kinerja perusahaan swasta dsb.
Istilah "Kaizen"
bersumber dari kontraksi dua karekter dalam bahasa Jepang yang berasal
dari kata “Kai” yaitu "perubahan", “Zen” yang berarti “lebih baik”. Jadi pengertian kaizen secara sederhana
adalah usaha perbaikan/penyempurnaan secara kecil-kecilan dan berkesinambungan,
dengan melibatkan semua jajaran dalam level organisasi, dari manajemen tingkat
atas/pimpinan sampai ketingkat bawah agar selalu lebih baik dari kondisi
sekarang. Kaizen juga telah diterjemahkan oleh manajemen barat dengan
“Continuous Improvement” dalam pengelolaan dan perbaikan proses di tempat
kerja.
Di
Jepang sendiri, pemahaman kaizen bukan saja sebagai suatu sistem kerja
yang telah menjadi bagian dalam manajemen Jepang, tapi juga sudah merupakan
kultur kerja yang mengakar bahkan telah menjadi falsafah hidup yang bersumber
dari budaya leluhur yang terbukti mampu mengantarkan masyarakatnya menjadi
masyarakat dengan peradaban modern yang berbasis nilai budaya leluhur.
Awal keberadaan kaizen, didasari budaya leadership Jepang klasik yang bersumber dari kredo “bushido” dari kelompok kesatria Jepang yang dikenal dengan samurai, suatu kelompok dengan posisi semacam leader dalam masyarakat Jepang kuno yang menanamkan tujuh nilai leluhur yang telah diterapkan sejak 1100 tahun yang lalu yaitu Chu (tugas dan kesetiaan) Gi (adil & bermoral), Makoto (tulus ikhlas), Rei (sopan santun), Jin (kasih sayang), Yu (keberanian heroik) dan Meiyo kehormatan).
Sebagai suatu falsafah hidup masyarakatnya, pemahaman dan implementasi kaizen tidak saja diamalkan dalam kehidupan kerja di perusahaan maupun pemerintahan, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial, kehidupan rumah tangga, yang mengarahkan agar selalu berfokus pada upaya perbaikan terus menerus secara bertahap, sekecil apapun perbaikan itu pasti akan berguna.
Pada awal abad ke-20, istilah
kaizen perlahan mulai muncul dalam karya terbitan orang Jepang, namun kata itu
belum digunakan secara luas pada masyarakat umum. Istilah Kaizen mulai
berkembang di Toyota 1950 – 1960an, sebagai bagian dari strategi pengembangan
dalam konsep Toyota Production System (TPS) yang diprakarsai oleh Taichi Ohno
(mantan executive vice presiden Toyota Motor Jepang) yang menghasilkan
orang-orang yang dapat menganalisis metoda kerja dan membuat perbaikan untuk
meningkatakan kinerja proses yang mengutamakan kreatifitas ketimbang modal
sebagai prioritas besar toyota saat itu.
Dominasi keunggulan manajemen
toyoya yang dikenal dengan Toyota Production System (TPS) yang berintikan kaizen, terbukti telah
menghasilkan loncatan kinerja yang luar biasa sehingga menempatkan toyota menguasai industri otomotif dunia sehingga keberhasilan tersebut menarik minat industri lain diluar Jepang berlomba untuk mengadopsi penerpana metoda kaizen di berbagai negara termasuk
termasuk di Indonesia. Hal ini juga telah memprakarsai munculnya konsep-konsep
manajemen operasional yang sudah banyak dikenal seperti konsep aliran
Produksi Tepat Waktu (Just In Time), 7 Pemborosan (7 waste), 5S/5R (Ringkas,
Rapih, Resik, Rawat, Rajin), sistem Kanban, Total Perawatan Terpadu (Total
Productive Maintenance), 8 Langkah Proses Penyelesaian Terpadu (8 Steps Problem
Solving Process) dan yang lainnya. Keberhasilan penerapan pendekatan
diatas telah terbukti banyak memberi konstribusi keunggulan yang ditunjukan oleh
perusahaan Jepang lainnya seperti Honda, Nikon, Canon, Mitsubishi, Nissan dan
lain-lain, termasuk dalam tatanan operasianal manajemen pelayanan publik di lingkungan pemerintahan Jepang.
Toyota misalnya, sebagai nama besar dan
ikon keberhasilan industri manufaktur dalam bidang otomotif Jepang yang berawal
dari industri tekstil ini mampu menjelma dan mengembangkan produk otomotif
komersialnya sebagai produsen mobil Jepang sekaligus yang terbesar dan
tersukses hingga menjangkau seluruh pelosok didunia. Keberhasilan toyota dalam
menerapkan pola perbaikan ala kaizen yang berkembang merupakan awal
keberhasilan sistem produksi mereka yang dikenal dengan Toyota Production
System (TPS) atau di barat dikenal dengan istilah "Lean Manajement', telah
dianggap sebagai salah satu praktisi utama yang paling terkenal berhasil dalam
menerapkan sistem kaizen yang terintegrasi dengan budaya organisasi yang
revolusioner melalui pola 4P (Philosophy, People, Process dan Problem solving).
Penerapan kaizen di lini produksi
Toyota pada awalnya sangat memungkinkan setiap pekerja dalam mendeteksi
kerusakan yang terjadi secara otomatis dengan mudah, lalu menghentikan seluruh
jalur perakitan untuk kemudian memperbaiki cacat yang terjadi, sembari
mengidentifikasi akar permasalahannya dengan menggunakan mentoda pendekatan
Plan-Do-Check-Action (PDCA) yang bersumber dari teori Deming.
Pertemuan-pertemuan dalam satuan kerja kelompok kecil di mana karyawan
mengetahui masalah di tempat kerja yang sebenarnya dapat memberikan saran
kepada manajemen tentang cara meningkatkan efisiensi seperti waktu siklus
(cycle Time), waktu ancang ancang (lead time) untuk memenuhi waktu pacu (takt
time) yang telah ditentukan untuk menjamin jadwal permintaan pelanggan dalam
kontek internal (didalam jalur produksi) maupun pelanggan external (pembeli).
Sejalan dengan visinya, strategi
kaizen di toyota
diarahkan pada aspek apa yang paling penting untuk meningkatkan kinerja
yaitu kualitas (quality), biaya(cost) dan pengiriman (Delivery), tidak
lain hanya untuk memuaskan pelanggannya. Aspek kualitas tidak hanya
berkaitan dengan kualitas produk jadi atau jasa layanan, namum juga kualitas
dari proses yang menghasilkan produk maupun jasa layanan. Biaya terkait dengan
biaya keseluruhan sejak dari merancang, menjual, memelihara produk dan jasa
layanan, sedang aspek penyerahan (delivery) adalah menyerahkan produk atau jasa
layanan dalam jumlah dan waktu yang tepat. Toyota meyakini benar, apabila ketiga kondisi
yang dirumuskan dalam hal yang menjadi sasaran kaizen tersebut terpenuhi maka
konsumen akan terpuaskan.
Untuk mewujudkan ketiga aspek diatas, metoda kerja dan sumberdaya yang meliputi tenaga kerja, informasi, peralatan dan material harus dikelola dengan tepat yang pengelolaannya membutuhkan standar. Untuk menjamin standar yang baik, setiap kali terjadi masalah atau ketidakwajaran harus dilakukan identifikasi untuk mengetahui akar permasahan yang timbul dan segera ditanggulangi dengan cepat, sekaligus mengubah standar yang ada dan selanjutnya menerapkan standar baru serta mencegah terjadinya suatu permasalahan yang sama tidak terulang lagi. Dengan demikian standar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kaizen sebagai dasar dari perbaikan berkesinambunagan yang dilakukan sehari-hari.
Awal penerapan filosofi kaizen dalam mengoptimalkan kinerja TPS, peran kaizen sangat serius mengarahkan seluruh karyawan untuk melihat bahwa tidak semua kerja bernilai tambah, oleh sebab itu elemen kerja yang tidak memiliki nilai tambah harus diperangi karena akan berdampak pemborosan yang dikenal dengan Mura (ketidakseimbangan proses kerja), Muri (kelebihan beban kerja) dan Muda yang merupakan 7 pemborosan ("7 waste") yang harus dihilangkan meliputi ; 1) produksi berlebihan (overproduction), (2) persediaan berlebihan (excess inventory), (3) sisa bahan dan pengerjaan ulang (scrap and rework), (4) waktu tunggu (waiting time), (5) pengangkutan berlebih (excess conveyance), (6) gerakan berlebihan (excess motion) dan (7) pemprosesan berlebihan (overprocessing). Ketiga fenomena diatas merupakan rintangan yang berpotensi menghambat produktifitas proses produksi dan terciptanya qualitas produk yang baik.
Oleh karena ketujuh pemborosan
diatas awalnya diterapkan di Toyota, seiring dengan perkembangannya banyak
perusahaan yang merubah atau menambahkan kemungkinan bentuk pemborosan yang
berpotensi muncul sesuai dengan kondisi masing-masing, misalnya saja kegagalan
memanfaatkan potensi sumberdaya manusia, sistem dan prosedur yang tidak
efisien, banyaknya energi yang terbuang dengan sia-sia, pelayanan yang tidak
efisien, lamanya menunggu dokumen tiba maupun diproses atau berkenaan dengan
kesalahan dalam dokument atau transaksi dan sebagainya adalah merupakan hal-hal
yang sering ditemukan dan ditambahkan.
5S Implementation |
Tatkala Toyota mengelola
fasilitas produksi General Motor perusahaan otomotif terbesar Amerika di
Freemont - California yang telah tutup, tidak perlu melakukan perombakan
besar-besaran dalam mengadopsi "best practice ala Toyota", tapi
justru melakukan perubahan incremental layaknya filosofi kaizen yang
keberhasilannya telah menjadi pemicu untuk meyakinkan industri otomotif Amerika
sehingga manajemen berbasis kaizen mendapat perhatian para analis
manajemen di negara itu, lebih-lebih melihat perkembangan yang pesat ekonomi
jepang yang kerap kali merepotkan hegemoni negara-negara barat dalam percaturan
ekonomi global.
Seiring dengan perkembangan waktu
dan dominasi pendekatan serta keberhasilan penerapan sistem perbaikan ala
“kaizen” yang sebelumnya hanya diterapkan dan menjadi rahasia keberhasilan manajemen
Jepang kini telah menarik dunia barat dan beberapa negara lainya di Asia.
Indikator inilah yang telah memicu banyaknya pihak diluar Jepang yang
berlomba-lomba mempelajari bagaimana implementasi manajemen kaizen yang
sebenarnya di negeri matahari terbit tersebut.
Tulisan ini, bukan untuk
mengatakan bahwa cara "kaizen" adalah akhir dari semuanya untuk
menjadikan solusi dalam memperbaiki semua masalah ekonomi maupun sosial saat
ini, tetapi merupakan awal yang baik untuk memecahkan beberapa permasalahan
subtansial. Adalah wajar jika tidak sedikit dari yang membaca tulisan ini akan
bertanya khususnya kepada meraka yang berperan sebagai pembuat keputusan dalam
suatu organisasi baik organisasi bisnis maupun pemerintahan ada yang akan
bersenandung dengan mengatakan ; apa mungkin budaya kaizen termasuk
proses manufaktur Toyota
akan berhasil dilakukan dengan cara saya menjalankan perusahaan atau
pemerintahan ditempat saya?
Beberapa orang akan mengatakan segalanya dan juga tidak sedikit yang akan mengatakan "tidak". Bahkan bagi mereka yang berasal dari instansi pemerintahan secara tegas akan bertanya ; apakah kaizen dapat diterapkan di pemerintahan? maka jawabannya, kaizen adalah suatu pendekatan yang berorientasi pada pendekatan manusiannya (personal approach) untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan dan merubah kultur organisasi menjadi lebih baik. Bukankah hal tersebut juga sangat dibutuhkan dalam pengelolaan manajemen pemerintahan. ( Hasmina Syarif *** )
Mengapa orang orang selalu bicara bahwa kaizen seakan akan hanya gerakan 5-S?
BalasHapusPadahal 5-S hanyalah salah satu dari Kaizen Tools.
@Parto Gian, anda benar bahwa kaizen bukan hanya gerakan 5S, dan dalam tulisan diatas tdk ada pernyataan bahwa seperti yg bapak maksudkan. coba di baca kembali dlm tulisan ini disebutkan bahwa : Dalam berbagai kasus ketika seorang karyawan belum menemukan potensi perbaikan maka memulai dengan konsep dasar kaizen yang dikenal dengan 5S adalah ide yang terbaik" itu bukan berarti kami menjelasakan bahwa kaizen itu hanya 5S. Masih ada TPM, Kanban System, JIT dll. AMbil contoh Beberapa bulan yang lalu kami juga melakukan kaizan dengan subject lain & berhasil mengurangi jumlah tenaga kerja dengan kapasitas produksi yg meningkat 30 % dari sebelumnya. Maaf baru direspond. Thanks.
BalasHapus