By : Wolio-Shopfloor Management-Genba Kaizen Specialist
Genba, demikian istilah popular yang banyak
disebut-sebut setelah "Kaizen" bagi para pelaku industri maupun ditatanan
pemerintahan Jepang dalam konsep manajemen pengelolaan lapangan yang efektif
dan sistimatis. Istilah Genba dalam konteks industri dapat diartikan sebagai
tempat kerja yaitu tempat yang realistis apakah baik dan buruk dimana suatu
proses kerja yang bernilai tambah dapat dilakukan.
Efektifitas penerapan shoopfloor manajemen sebagaimana yang dilakukan banyak perusahaan Jepang diawali dari pembentukan dan pemberdayaan kelompok kerja kecil yang biasa disebut ”Small Company” yang terdiri 8 -12 orang. Kelompok kerja dibentuk secara terstruktur dan dipimpin oleh seorang group leader/team leader/supervisor yang bertanggung jawab dalam merubah mindset anggota group dengan memberdayakan anggota tim yang berbasis nilai-nilai kultur perusahaan melalui disiplin untuk proses pengelolaan proses pekerjaan yang terstandarnisasi.
Awalnya, pengenalan genba kandri (shopfloor manajement) ini dirancang untuk dioperasikan oleh orang-orang yang 'melakukan' pekerjaan dan bukan orang-orang yang mengelola 'pekerjaan. Hal ini memungkinkan pemimpin tim dan operator untuk memahami kinerja suatu perusahaan dalam kontek proses produksi berbasis kinerja masing-masing kelompok kerja dengan menyoroti penanggulangan permasalahan yang muncul sebagai tindakan di mana perubahan perlu dilakukan melalui pengidentifikasian akar suatu permasalahan.
Dalam sektor jasa layanan, “gemba” adalah tempat
dimana konsumen melakukan kontak dengan jasa layanan yang ditawarkan. Begitu
pula dalam sistem pemerintahan, “genba” dapat diaratikan sebagai tempat dimana
aparat/instansi pemerintah melakukan pelayanan kepada masyarakat atau lokasi
dimana suatu proyek pembangunan dilakukan. Dalam tulisan ini penjelasan
pemahaman shopfloor dibatasi hanya dalam pemahaman di bidang industri.
Berbagai konsep pengelolaan areal kerja
dipraktekkan sejak diperkenalkan oleh Taylor hingga lahirnya konsep manajemen
lapangan yang diprakarsai oleh Taichi Ohno yang dikenal dengan Toyota
Production System (TPS). Konsep manejemen pengelolaan areal kerja yang berbasis
TPS atau ”lean manajement” dikenal dengan istilah “Genba
Kanri” yang dikalangan manajemen barat disebut sebagai “Shopfloor
Management”.
Pengertian kata “kanri” dalam bahasa Jepang awalnya
berarti mengelolah hukum alam lalu seiring dengan perkembangan sistem manajemen
operasional perusahaan yang berbasis ramping (lean) yang dipelopori oleh Toyota
sebagai perusahaan pionir yang berhasil menerapkan konsep manajemen shopfloor,
maka kata “kanri” diterjemahkan dalam artian “menajemen”.
Ketatnya kompetisi bisnis dalam usaha meningkatkan
kinerja dengan menitik beratkan pada biaya operasional yang rendah tanpa
mengabaikan kualitas produk/pelayanan sebagai persyaratan perusahaan yang
efisien dengan menitik beratkan pada pemberdayaan potensi karyawan melalui
perbaikan terus menerus dengan tindakan penanggulangan masalah yang cepat,
telah memacu banyak perusahaan menfokuskan pengelolaan manajemen operasi yang
efektif di jalur produksi melalui penerapan sistem "Shopfloor Management".
Sebagai doktrin manajemen
pengelolaan tempat kerja di lapangan yang berbasis kelompok untuk memudahkan
rentang kendali dalam menjamin pengelolaan proses produksi yang lancar harus
ditunjang dengan pengembangkan karyawan melalui pembinaan yang intensif dalam
menyikapi sistem kerja yang standard. Setiap permasalahan yang muncul
harus teridentifikasi dengan baik secara transparant untuk di tanggulangi
dengan cepat ditempat dimana permasalahan itu terjadi (genba), sembari mencari
akar permasalahan melalui penerpapan metode pemecahan masalah yang cepat,
dilakukan diareal kerja dengan pendekatan sistimatis dan tranparant agar
permasalahan yang sama tidak berulang.
Untuk menjamin stabilitas standard proses untuk
terciptanya qualitas produk yang baik, diperlukan peninjauan proses secara
regular yang berbasis audit sebagai awal dalam mengidentifikasi problem untuk
tindakan perbaikan. Hal ini memerlukan pendekatan
manajemen yang menyediakan karyawan yang trampil dengan dukungan untuk
berprestasi dalam menjalankan pekerjaan mereka sehari-hari dengan
mengedepankan disiplin sebagai fondasi pelatihan sehingga mendorong mereka
untuk menjadi karyawan yang memiliki kinerja baik yang berbasis standard.
Efektifitas penerapan shoopfloor manajemen sebagaimana yang dilakukan banyak perusahaan Jepang diawali dari pembentukan dan pemberdayaan kelompok kerja kecil yang biasa disebut ”Small Company” yang terdiri 8 -12 orang. Kelompok kerja dibentuk secara terstruktur dan dipimpin oleh seorang group leader/team leader/supervisor yang bertanggung jawab dalam merubah mindset anggota group dengan memberdayakan anggota tim yang berbasis nilai-nilai kultur perusahaan melalui disiplin untuk proses pengelolaan proses pekerjaan yang terstandarnisasi.
Dalam mengoptimalkan pencapaian sasaran karakter seoarang shopfloor
leader harus berorientasi „Continuous Improvement “ dalam mengoptimalkan pencapaian visi-misi setiap kelompok kerja yang
ada, agar memenuhi target manajemen yang dicanangkan
dengan skop indikator keberhasil yang standar meliputi; Quality, Delibery,
Cost, Moral dan Safety (QDCS).
Proses implementasi shoopfloor management
bergantung pada menyelarasan metode yang tepat untuk skenario yang benar
sesuai kondisi dan kultur perusahaan dengan berlandaskan bahwa subtansi
penerapan shopfloor manajemen yang mengacuh pada 3 faktor penting yang tediri dari 3G (Genba, Genbutsu dan Genjitsu) ;
(1). Genba : Merupakan
tempat yang sebenarnya (real place) dimana nilai tambah dibuat untuk memenuhi
permintaaan pelanggan. Shopfloor management harus dirancang dalam pengelolaan
tempat kerja yang efektif dengan pendekatan sistem yang berbasis kelompok kerja
(working group) yang dipimpin oleh ketua kelompok. Group leader/team leader dan
manajer harus menjadi orang yang memahami keadaan di gemba secara langsung.
(2) Genbutsu : Genbutsu (real
think) dalam bahasa Jepang berarti kondisi fisik yang nyata dan sebenarnya yang
mencakup keadaan produk, material, part ,mesin proses dan peralatan yang
digunakan. Ketika elemen produksi tersebut tidak berjalan dengan baik atau
menimbulkan permasalahan maka seorang menager haruslah pergi ke genba (go &
see) untuk melihat, memahami, memperhatikan dan mempelajari permasalahan yang
sebenarnya terjadi. Dengan mengembangkan kebiasaan pergi ke gemba (go and see), para pemimpin perusahaan akan memilki rasa percaya diri untuk menggunakan kebiasaan tersebut dalam
memecahkan berbagai masalah yang spesifik secara cepat.
(3) Genjitsu : Genjitsu (real fact) berarti
situasi aktual atau fakta nyata yang bukan berbentuk teori. Ketika melakukan
proses genbutsu melihat secara visual permasalahan yang ada maka harus
ditindaklanjuti dengan suatu usaha untuk mengetahui lebih detail dengan
memeriksa setiap penyebab potensial untuk mengetahui akar permasalahan yang
sebanarnya. Kita perlu terus-menerus bertanya pada diri sendiri 'Mengapa'
dengan melihat proses kerja yang dilakukan dan memastikan bahwa alat ukur &
data yang kita peroleh telah akurat.
Awalnya, pengenalan genba kandri (shopfloor manajement) ini dirancang untuk dioperasikan oleh orang-orang yang 'melakukan' pekerjaan dan bukan orang-orang yang mengelola 'pekerjaan. Hal ini memungkinkan pemimpin tim dan operator untuk memahami kinerja suatu perusahaan dalam kontek proses produksi berbasis kinerja masing-masing kelompok kerja dengan menyoroti penanggulangan permasalahan yang muncul sebagai tindakan di mana perubahan perlu dilakukan melalui pengidentifikasian akar suatu permasalahan.
Esensi Shopfloor Managemen
Sekalipun banyak alternatif dalam penetapan elemen
penting dalam penerapan shopfloor manajemen, namun mayoritas perusahaan
worldwide level yang berbasis lean manajemen menetapkan elemen yang paling esensial dalam pelaksanaan
penerapan konsep "New Shopfloor Manajemen" meliputi :
1. Visi
pencapaian target berbasis nilai.
Setiap perusahaan maju pasti
memiliki visi-misi yang ditopang dengan nilai-nilai perusahaan/organisasi
sebagai landasan yang kuat dalam menjalankan aktivitasnya. Suatu nilai tidak
akan berarti tanpa aksi yang strategis dan sistematis hingga berwujud budaya
perusahaan yang kuat. Nilai-nilai perusahaan harus dibagun yang bermuara hingga
menyentuh tatanan kepemimpinan kelompok yang berada di jalur shopfloor area.
Hal ini sangat penting karena
urgensi nilai, harus selalu disikapi sebagai membangkit sprit dan perekat yang
utuh dalam menjalankan operasional perusahaan. Begitu pentingnya nilai-nilai
perusahaan dalam menopang tercapainya visi sebagai petunjuk arah bagi pekerja
yang ingin mengidentifikasi emosional dan menuntut mereka untuk melakukan
pekerjaannya dengan rasa memiliki yang tinggi. Dengan mengetahui tujuan dan
cara bagaimana agar memuaskan pelanggannya melalui penyesuaian nilai sesuai
visi dapat mengubah perilaku anggotanya dalam menyelesaikan pekerjaan dengan
makna yang besar dan hasil yang maksimal.
Dalam keberhasilan penerapan Genba kandri (Shopfloor Management) dalam konteks TPS di
Toyota misalnya, visi yang menjadi pilar nilai-nilai yang harus diterapkan
dalam menyikapi pekerjaan sehari-hari dapat menyatukan wawasan karyawannya
dalam berperilaku untuk mencapai tujuan yang ditargetkan meliputi : (1)
Challenge (Tantangan) : mempertahankan visi jangka panjang dan berusaha untuk
memenuhi semua tantangan dengan keberanian dan kreativitas yang dibutuhkan
untuk mewujudkan visi tersebut ; (2.) Kaizen, yang berarti berjuang untuk
perbaikan terus-menerus. Karena tidak sebuah prosespun dapat dinyatakan
sempurna untuk selamanya, selalu ada ruang untuk perbaikan. (3) Genchi Genbutsu
: Pergi ke sumber terjadinya masalah demi menemukan fakta-fakta untuk
membuat keputusan yang benar, membangun konsensus dan mencapai tujuan. (4).
Respect (Menghormati): menghormati orang lain sebagai usaha untuk memahami
orang lain, menerima tanggung jawab dan melakukan yang terbaik untuk membangun
rasa saling percaya. (5.) Teamwork (Kerja sama ): merangsang pertumbuhan
pribadi dan profesional, saham peluang untuk pengembangan dan memaksimalkan
kinerja individu dan tim.
2. Pelatihan &
mengajarkan orang (training & teach people).
Pengarahan dan Pelatihan |
Keberhasilan sistem manajemen yang efektif dan prosepektif
di area shopfloor bermuara dari kesiapan sumber daya melalui pendekatan
pelatihan yang progresif serta pemberian arahan (coaching) dari pemimpin
kelompok kerja yang harus dilakukan secara terus menerus yang disusun dalam
suatu perencanaan pengembangan sumber daya yang sustainable.
Tipikal pemimpin yang diperlukan dalam
kontek manajement shopfloor adalah mengajar orang lain, tidak perduli berapapun
banyaknya ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Karena
tanpa kemampuan mengajar, memberikan arahan sebagai bentuk pengembangan
karakter dan mindset, seseorang pemimpin tidak dapat menyebarkan pengetahuannya
kepada orang lain. Jika ketrampilan dan pengetahuan yang dimilikinya tidak
disebarkan kepada orang lain, perusahaan/organisasi tidak akan tumbuh dan
berhasil dengan baik.
Terinspirasi dengan
pengalaman Konosuke Matsushita setiap kali melakukan kunjungan ke kliennya yang
selalu mendapatkan pertanyaan “Apakah yang dibuat oleh matsuhita
electric? Dengan spontan pionir Matsuhita Group itu selalu
menegastakan bahwa “Matsuhita Electric fokus untuk membuat orang (create
people) dan kami juga memproduksi peralatan listrik dan berbagai produk lain”
Matsushita menyadari betul akan
pentingnya pengembangan sumber dayanya dalam menstabilkan operasional
perusahaan. Saat itu moto yang merupakan nilai bagi Matsisitha Electric adalah
“ Bisnis berakar pada sumber daya manusia” yang berarti bahwa hanya
dengan mempersiapkan pekerja yang terdidik, maka mereka dapat tumbuh dan
berkembang sebagai manusia yang berkecimpung dalam bisnis yang ditekuni. Oleh
sebab itu meskipun produk yang di produksi oleh matsuhita penting, yang
dilakukan dengan baik maka pertama-tama kita harus fokus untuk mengembangkan
orang-orang yang melakukan pekerjaan.
3.
Kepemimpinan Kelompok kerja berbasis Kaizen
Shopfloor Leader |
Kepemimpinan
shopfloor manajemen merupakan figure yang mempertanggung jawabkan kinerja
kelompok yang mampu menterjemahkan visi perusahaan dalam kontek aktivitas
kelompok dalam menjalankan proses produksi. Pemimpin kelompok kerja dalam
hal ini selalu berdiri di jalur garis depan yang berjenjang, mulai dari team
leader sampai group leader yang sebagian besar diperankan oleh seorang
supervisor lapangan.
Pimpinan
kelompok diarahkan untuk selalu mendukung aktivitas produksi secara lansung,
meningkatkan sistem kerja, mengidentifikasi semua permasalahan yang muncul dan
memimpin perubahan dengan selalu memberi arahan kedepan dalam mengembangkan
anggota kelompoknya. Hal ini dilakukan karena melalui kemampuan memimpin,
mengajar dengan pengetahuan pekerjaan yang memadai akan mampu mendorong dan
memotivasi anggotanya dalam melakukan inovasi melalui perbaikan secara terus
menerus dengan mentrasfer kemampuan yang dimilikinya kepada tim agar mencapai sasaran
harian jangka pendek dan jangka panjang yang ditentukan.
Pemimpin
shopfloor selalu konsisten dalam menganalisa pekerjaan di areanya, mencari cara
yang efisien untuk menggabungkan, mengatur ulang, menyederhanakan tugas agar
menghasilkan pemanfaatan yang efisien dalam pengelolah ”material, mesin, tenaga
kerja, metoda kerja, lingkungan kerja, melalui pendekatan pola pikir yang
selalu mendorong bawahannya untuk melakukan perbaikan berkesinambungan
dari berbagai aspek yang terkait dengan sikap dan aspek teknik dalam bekerja.
Dalam filosofi
Kaizen, peningkatan yang kecil lebih baik dari pada perbaikan besar yang
sedikit lalu berhenti dan tidak berkesinambungan. Kaizen adalah bagaimana
membuat agar pekerjaaan lebih mudah. Metoda kerja yang paling muda bukan
berarti cepat dan paling nyaman tapi jug harus paling cepat dan kondusif
dalam menciptakan kualitas yang baik. Kaizen adalah wadah untuk menciptakan
produktivitas karena mampu mengidentifikasi dan menghilangkan
kejanggala-kejanggalan dan mengatasi pemborosan kerja seperti dalam proses
bending, walking, peregangan, menjangkau,meraba dan double handling. namun
klise tentang bekerja cerdas bukan lebih keras sering tidak tercermin dalam
cara kita membayar orang
Efektifitas
seseorang pemimpin di shopfloor area didasarkan atas empat hasil kinerja kunci
adalah mampu mencapai indikator keberhasialan dalam proses produksi yaitu
Quality, Cost & Productvity –Delivery-Safety-Moral. Untuk meningkatkan ke 6
elemen keberhasilan produksi akan optimal jika pemimpin shopfloor menggirng
anggota kelompoknya untuk agar selalu terlibat dalam proses perbaikan terus
menerus (continuaous improvement) serta proses pelatihan yang efektif.
4. Komunikasi Reguler (Regular Communication)
Komunikasi regular dalam group kerja |
Untuk menjamin komunikasi yang
efektif diperlukan jadwal rapat (meeting) yang standar yamg menunjang
pelaksanaan komunikasi secara regular (regula communication) dan diskusi
penanggulangan permasalahan maupun perbaiakan kedepan diberbagai level yang
menunjang aktivitas shop floor manajemen.Regular komunikasi yang
baik sangat penting dan mempengaruhi kinerja dalam mencapai visi yang
diinginkan. Pada tingkat yang palin mendasar, karyawan yang tidak mengetahui
visi yang ditargetkan akan jarang memotivasi setiap orang untuk mengekuarkan potensi
yang dimilikinya dan karyawan tidak akan tahu apa yang diharapkan khususnya
menyangkut informasi penting seperti kehadiran, semangat, kinerja,
produktivitas dan problem apa yang sedang menjadi isu utama sehari-hari.
Dalam berbagai survei yang
banyak dilakukan dibeberapa level perusahaan menyimpulkan bahwa kelompok kerja
yang berkomunikasi secara efektif jauh lebih mungkin dan berkinerja baik
dibandingkan perusahaan yang tidak mengkomunikasikan kinerja melalui kumunikasi
yang reguler dan mengabaikan "keterlibatan karyawan".
5. Transparansi dan Visualisasi
Dalam manajemen shopfloor berlaku filosofi manajemen bahwa
“you can’t manage if you can’t measure”. Dengan demikian tindakan mengukur,
mendata pencapaian, permasalahan yang muncul, perbaikan yang telah dilakukan marupakan
hal yang perlu diketahui oleh semua tim kerja serta siapa saja yang ingin
mengetahui kinerja suatu kelompok secara tranparant dan tervisualisasi.
Traspransi dimaksudkan agar semua informasi pencapaian kinerja harus terapdate
di papan skor (scoreboard) terlepas dari hasilnya baik maupun buruk sebagai
informasi baru untuk selalu terpantau sabagai dasar dari pengambilang keputusan
maupun tindakan dalam mengontrol jalannya proses produksi. Pencatatan
kinerja yang ditempatkan di area papan skor (scoreboard) kelompok kerja
haruslah selalu akurat dan efektif yang dijelasakan dalam tampilan yang
transparan dengan penempatan yang mudah di jangkau/dilihat oleh siapa saja
khusunya anggota kelompok dan pihak manajemen.
Visualisasi yang dalam bahasa jepang dikenal dengan ( miuruka) dalam shopfloor manajemen di bagi 2 bagian
yaitu :
- Visualisasi kinerja & status kerja.
Cth : Visualisasi Status Pencapaian |
Visualisasi menyangkut informasi pencapaian kuantitas
(production achievement), kualitas (quality), Key Performance
Indikator (KPI), status masalah yang muncul (problem identification
status), proses penyelesaian masalah (problem solving proses), Efisiensi
kerja, Kaizen (continuous Improvement status), hasil
inspeksi/audit pekerjaan yang terstandarnisasi, status inspeksi 5S, 7
Pemborosan (7 waste), Status Karyawan (Employee Status) seperti Training/Competence
Matrix, Training Plan, informasi terbaru yang perlu diketahui oleh karyawan
dll.
- Visualisasi petunjuk standard kerja ;
Cth : Visualisasi Tempat Kerja |
Visualisasi petunjuk standard kerja merupakan
arahan/petunjuk elemen yang berinteraksi dalam sistem kerja di area shopfloor
seperi; instruksi keamanan (safety instruction), instruksi kerja standar
(standard sorking instruction), petunjuk jalur pergerakan, peta penempatan
karyawan (operator job assignment), Tanda garis batas (border line), Label
Identifikasi Peralatan, label mesin dan materials yang informatif dll.
Sebuah visualisasi yang transparan merupakan data kunci
dalam menyampaikan informasi serta berfungsi untuk meningkatkan kinerja
manajemen sehingga harus benar-benar terdefinisi dengan jelas dan mudah
difahami bagi setiap orang yang melihatnya (informatif). Data yang komprehensif
yang tervisualisasi adalah kunci utama sebab karyawan yang selalu mengacuh
kepada visi dalam bekerja haruslah diberi informasi visual yang ter-update
setiap saat serta mudah dipantau oleh siapapun yang ingin mengetahui.
7. Genchi
Gembutsu (Blusukan/Factory Walk)
Percaya itu adalah baik dan akan lebih baik dan bijak lagi
jika selalu berkunjung ketempat kerja/kejadian untuk melihat secara jelas dan
faham terhadap kondisi maupun permasalahan yang sebenarnya sedang
terjadi.
Dalam konteks manajemen Jepang kalimat diatas dapat
diistilakan sebagai Genchi Gembatsu yang secara harfiah berasal dari bahasa
Jepang, yaitu „Pergi dan lihat permasalahan di lapangan“ atau “Go and See the
Problem”. Genchi Genbutsu bukan sekedar teori, melainkan lebih menekankan pada
praktek dengan melakukan observasi lansung untuk memahami masalah tersebut
lebih dalam (real fact) di ditempat terjadinya masalah (real place) supaya
paham terhadap persoalan yang ada sebagai dasar untuk melakukan perbaikan yang
akurat, cepat dan tepat.
Sebagai suatu yang menjadi bagian
integral dari Toyota Production System. Seperti apa Genchi Genbutsu ini?
Taichii Ohno, penemu konsep Toyota Production System, menggambarkannya dengan
cara membedakan konsep "data" dengan "fakta". Data dan
fakta punya perbedaan yang sangat besar. Misalnya, melihat data mengenai
rusaknya suatu mesin dengan melakukan observasi langsung di tempat kejadian
sangatlah berbeda. "Data tentu saja penting dalam organisasi, tapi
saya menempatkan penekanan terbesar pada fakta." (Taichi Ohno).
8. Proses Peneyelesaian Masalah (Problem Solving Process)
Cth : Lembaran A3 Problem Solving |
Kebalikan dari masalah adalah peluang,
sehingga setiap permasalahan baru yang terjadi merupakan peluang yang
berpotensi untuk melakukan perbaikan agar permasalahan yang sama tidak terjadi
kembali (secara berulang).
Kelompok kerja (working group) dibawah
kendali group leader/supervisor berperan sebagai gugus yang paling depan dalam
mengatasi setiap permasalahan yang terjadi dengan melibatkan semua anggota
group. Kasus per kasus yang permaslahan yang muncul harus tercatat pada
lembaran identifikasi problem solving yang tersedia di papan hasil (scoreboard)
yang dapat teridentifikasi secara visual dan transparan di ”areal small
company” yang ada masing kelompok kerja
Tindakan penyesaian masalah harus
berawal dari kelompok kerja yang di pimpin group leader untuk melakukan proses
penyelesaian masalah dengan melibatkan anggota kelompok kerja yang ada. Ketika
suatu kelompok kerja tidak mampu memutuskannya permasalahan yang disebabkan
karena tingkat kesulitan yang diluar wewenangnya maka penyelesaian permasalahan
haruslah tereskalasi secara bertingkat di level mananjemen lebih tinggi sesuai
dengan bobot tingkat kesulitan yang muncul.
Memahami penanganan setiap masalah
selalu membutuhkan pengalaman lapangan, dengan melakukan serangkaian pertanyaan
eksploratif yang tepat sasaran, mampu membedakan antara gejala dan akar
permasalahan, serta obyektifitas yang tinggi. Kenapa, karena ketika
permasalahan ditemukan maka maka seringkali yang keluar pertama kali bukanlah
akar permasalahannya, namun masih gejalanya. Akar permasalahan bisa jadi pada
lokasi yang berbeda, waktu yang lampau atau pada bagian lain.
Kondisi demikian diperlukan seorang
pemimpin kelompok kerja harus terlatih dalam melakukan analisa dengan
menggunakan kaidah penyelesaian masalah seperti 7 langkah (7 steps)
penyelesaian masalah dengan system Plan-Do-Check-Action (PDCA), pengumpulkan
bukti, menemukan hal-hal yang baru dengan pendekatan “5-Why” untuk
mengidentifikasi akar permasalahan sebagai sumber suatu masalah menjadi jelas,
dimana pada saat itu pemikiran yang baik akan menghasilakan pemecahan terbaik,
sangat efektif dan terstruktur, dengan berbiaya rendah tapi tidak berkualitas
rendah.
Analisa yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menemukan dan memahami banyak penyebab potensial masalah. Dari
banyak penyebab potensial tersebut, kita perlu mempersempit dan memusutkan
perhatian pada yang paling signifikan.
Suatu lingkungan yang dapat memberikan
keleluasaan pada setiap orang untuk dapat terbiasa mengeksplorasikan
permasalahannya di tempat kerja. Dengan adanya eksplorasi masalah akan
memancing karyawan lainnya untuk ikut memberikan kontribusi ide dalam upaya
penyelesaian masalah tersebut. Dengan demikian krativitas karyawan dalam
problem solving menjadi terasah
9. Pengontrolan Proses berbasis standar (Standard based Process
Control)
Audit Standar Proses |
Setiap petunjuk pekerjaaan pada
dasarnya di buat untuk menetapkan aturan dalam melakukan proses pengerjaan yang
terstandarnisasi, sekalipun banyak kalangan yang mengatakan bahwa menempatkan
pekerjaan terstandarnisasi dimaksudkan agar operator/karyawan yang bersangkutan
dapat mengacuh padanya ketika melakukan pekerjaan yang ditugaskan.
Petujuk pekerjaan terstandarnisasi seperti petujuk instrksi
kerja (working instruction) harus dimengerti dengan baik dan ditempatkan pada
posisi yang strategis di area kerja operator. Hal ini dimaksudkan disamping
dapat terlihat dengan mudah oleh operator yang bersangkutan juga dapat
dijadikan acuan ketika team leader dan group leader yang bertanggung jawab agar
memudahkan dalam proses pengecekan keabsahannya selama melakukan audit
pekerjaan yang terstandarnisasi.
Tindakan pelaksanaan dalam pengendalian proses berbasis
standard harus dilakukan melalui proses audit yang terjadwal secara terus
merenerus, hal ini dimaksudkan semata-mata untuk mempertahankan dan menjamin
stabilitas penerapanan proses secara konsisten.Operator seringkali didapatkan
menyimpang dari pekerjaan terstandarnisasi karena suatu masalah seperti
pelakukan pekerjaan yang berulang-ulang. Tindakan pengontrolan berbasis standar
di maksdukan sebagai sebuah identifikasi dan analisa yang merupakan dasar dalam
melakukan penegotrolan terhada pekerja agar konsisten terhadap proses kerja
yang telah ditetapkan.
Ada dua hal yang menyebabkan perlunya
dilakukan audit. Pertama adalah ditemukannya suatu masalah, apa yang
menyebabkan timbulnya suatu masalah, apa yang menyebabkan kelambatan proses
prosuksi. Kedua mungkin memang sudah saatnya untuk audit untuk menjamin
stabilitas penerapan pekerjaan yang terstandarnisasi. Audit memungkinkan
ditemukannya penyimpanagan dari metoda standard. Alasan dilakukannya audit
adalah untuk menemukan penyebab masalah yang berdampak pada proses dan menjadi
awal tindakan untuk perbaikan sebagai dasar perbaikan berkesinambunagan.
Prosedur standard dalam suatu industri meliputi proses kerja
standard, rute aliran material dalam pabrik, papa hasil produksi, penggunaan
kode warna, kebersihan tempat kerja, fasilitas dan alat yang digunakan,
penempatan material yang aman, identifikasi material dll.
Setiap petunjuk pekerjaaan pada dasarnya di buat untuk
menetapkan aturan dalam melakukan proses pengerjaan yang terstandarnisasi,
sekalipun banyak kalangan yang mengatakan bahwa menempatkan pekerjaan
terstandarnisasi dimaksudkan agar operator/karyawan yang bersangkutan dapat
mengacuh padanya ketika melakukan pekerjaan yang ditugaskan.
Petujuk pekerjaan terstandarnisasi seperti petujuk instrksi
kerja (working instruction) harus dimengerti dengan baik dan di tempatkan pada
posisi yang strategis di area kerja operator. Hal ini dimaksudkan disamping
dapat terlihat dengan mudah oleh operator yang bersangkutan juga dapat
dijadikan acuan ketika team leader dan group leader yang bertanggung jawab agar
memudahkan dalam proses pengecekan keabsahannya selamamelakukan audit pekerjaan
yang terstandarnisasi.
Tindakan pelaksanaan dalam pengendalian proses berbasis
standard harus dilakukan melalui proses audit yang terjadwal secara terus
merenerus, hal ini dimaksudkan semata-mata untuk mempertahankan dan menjamin
stabilitas penerapanan proses secara konsisten.
Operator seringkali didapatkan
menyimpang dari pekerjaan terstandarnisasi karena suatu masalah seperti melakukan pekerjaan yang berulang-ulang. Tindakan pengontrolan berbasis standar
di maksdukan sebagai sebuah identifikasi dan analisa yang merupakan dasar dalam
melakukan penegotrolan terhada pekerja agar konsisten terhadap proses kerja
yang telah ditetapkan.
Ada dua hal yang menyebabkan perlunya
dilakaukan audit. Pertama adalah ditemukannya suatu masalah, apa yang menyebabkan
timbulnya suatu masalah, apa yang mentebakan kelambatan proses prosuksi. Kedua
mungkin memang sudah saatnya untuk audit untuk menjamin stabilitas penerapan
pekerjaan yang terstandarnisasi. Audit memungkinkan ditemukannya penyimpanagan
dari metoda standard. Alasan dilakukannya audit adalah untuk menemukan
peneyebab masalah yang berdampak pada proses dan menjadi awal tindakan untuk
perbaikan sebagai dasar perbaikan berkesinambunagan.
Prosedur standard dalam suatu industri
meliputi proses kerja standar, rute aliran material dalam pabrik, papa hasil
produksi, penggunaan kode warna, kebersihan tempat kerja, fasilitas dan alat
yang digunakan, penempatan material yang aman, identifikasi material dll. (by : Syar Lantory)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar