Selasa, 19 Februari 2013

Shopfloor Management (Genba Kanri) : Memberdayakan Potensi Karyawan Melalui Kaizen dan Kemampuan Problem Solving

By : Wolio-Shopfloor Management-Genba Kaizen Specialist

Genba, demikian istilah popular yang banyak disebut-sebut setelah "Kaizen" bagi para pelaku industri maupun ditatanan pemerintahan Jepang dalam konsep manajemen pengelolaan lapangan yang efektif dan sistimatis. Istilah Genba dalam konteks industri dapat diartikan sebagai tempat kerja yaitu tempat yang realistis apakah baik dan buruk dimana suatu proses kerja yang bernilai tambah dapat dilakukan. 

Dalam sektor jasa layanan, “gemba” adalah tempat dimana konsumen melakukan kontak dengan jasa layanan yang ditawarkan. Begitu pula dalam sistem pemerintahan, “genba” dapat diaratikan sebagai tempat dimana aparat/instansi pemerintah melakukan pelayanan kepada masyarakat atau lokasi dimana suatu proyek pembangunan dilakukan. Dalam tulisan ini penjelasan pemahaman shopfloor dibatasi hanya dalam pemahaman di bidang industri. 

Berbagai konsep pengelolaan areal kerja dipraktekkan sejak diperkenalkan oleh Taylor hingga lahirnya konsep manajemen lapangan yang diprakarsai oleh Taichi Ohno yang dikenal dengan Toyota Production System (TPS). Konsep manejemen pengelolaan areal kerja yang berbasis TPS atau  ”lean manajement”  dikenal dengan  istilah “Genba Kanri” yang dikalangan manajemen barat disebut sebagai “Shopfloor Management”. 

Pengertian kata “kanri” dalam bahasa Jepang awalnya berarti mengelolah hukum alam lalu seiring dengan perkembangan sistem manajemen operasional perusahaan yang berbasis ramping (lean) yang dipelopori oleh Toyota sebagai perusahaan pionir yang berhasil menerapkan konsep manajemen shopfloor, maka kata “kanri” diterjemahkan dalam artian “menajemen”.  

Ketatnya kompetisi bisnis dalam usaha meningkatkan kinerja dengan menitik beratkan pada biaya operasional yang rendah tanpa mengabaikan kualitas produk/pelayanan sebagai persyaratan perusahaan yang efisien dengan menitik beratkan pada pemberdayaan potensi karyawan melalui perbaikan terus menerus dengan tindakan penanggulangan masalah yang cepat, telah memacu banyak perusahaan menfokuskan pengelolaan manajemen operasi yang efektif di jalur produksi melalui penerapan sistem "Shopfloor Management".

Sebagai doktrin manajemen pengelolaan tempat kerja di lapangan yang berbasis kelompok untuk memudahkan rentang kendali dalam menjamin pengelolaan proses produksi yang lancar harus ditunjang dengan pengembangkan karyawan melalui pembinaan yang intensif dalam menyikapi sistem kerja yang standard.  Setiap permasalahan yang muncul harus teridentifikasi dengan baik secara transparant untuk di tanggulangi dengan cepat ditempat dimana permasalahan itu terjadi (genba), sembari mencari akar permasalahan melalui penerpapan metode pemecahan masalah yang cepat, dilakukan diareal kerja dengan pendekatan sistimatis dan tranparant agar permasalahan yang sama tidak berulang. 

Untuk menjamin stabilitas standard proses untuk terciptanya qualitas produk yang baik, diperlukan peninjauan proses secara regular yang berbasis audit sebagai awal dalam mengidentifikasi problem untuk tindakan perbaikan.  Hal ini memerlukan pendekatan manajemen yang menyediakan karyawan yang trampil dengan dukungan untuk berprestasi dalam menjalankan pekerjaan mereka sehari-hari dengan mengedepankan disiplin sebagai fondasi pelatihan sehingga mendorong mereka untuk menjadi karyawan yang memiliki kinerja baik yang berbasis standard.

Efektifitas penerapan shoopfloor manajemen sebagaimana yang dilakukan banyak perusahaan Jepang diawali dari pembentukan dan pemberdayaan kelompok kerja kecil yang biasa disebut ”Small Company” yang terdiri 8 -12 orang. Kelompok kerja dibentuk secara terstruktur dan dipimpin oleh seorang group leader/team leader/supervisor yang bertanggung jawab dalam merubah mindset anggota group dengan memberdayakan anggota tim yang berbasis nilai-nilai kultur perusahaan melalui disiplin untuk proses pengelolaan proses pekerjaan yang terstandarnisasi. 

Dalam mengoptimalkan pencapaian sasaran karakter seoarang shopfloor leader harus berorientasi „Continuous Improvement “ dalam mengoptimalkan pencapaian  visi-misi  setiap kelompok kerja yang ada, agar memenuhi target manajemen yang dicanangkan dengan skop indikator keberhasil yang standar meliputi; Quality, Delibery, Cost, Moral dan Safety (QDCS).

Proses implementasi shoopfloor management bergantung pada menyelarasan metode yang tepat untuk skenario yang benar sesuai kondisi dan kultur perusahaan dengan berlandaskan bahwa subtansi penerapan shopfloor manajemen yang mengacuh pada 3 faktor penting yang tediri dari 3G (Genba, Genbutsu dan Genjitsu)  ;

(1). Genba      : Merupakan tempat yang sebenarnya (real place) dimana nilai tambah dibuat untuk memenuhi permintaaan pelanggan. Shopfloor management harus dirancang dalam pengelolaan tempat kerja yang efektif dengan pendekatan sistem yang berbasis kelompok kerja (working group) yang dipimpin oleh ketua kelompok. Group leader/team leader dan manajer harus menjadi orang yang memahami keadaan di gemba secara langsung.

(2) Genbutsu   :  Genbutsu (real think) dalam bahasa Jepang berarti kondisi fisik yang nyata dan sebenarnya yang mencakup keadaan produk, material, part ,mesin proses dan peralatan yang digunakan. Ketika elemen produksi tersebut tidak berjalan dengan baik atau menimbulkan permasalahan maka seorang menager haruslah pergi ke genba (go & see) untuk melihat, memahami, memperhatikan dan mempelajari permasalahan yang sebenarnya terjadi. Dengan mengembangkan kebiasaan pergi ke gemba (go and see), para pemimpin perusahaan akan memilki rasa percaya diri untuk menggunakan kebiasaan tersebut dalam memecahkan berbagai masalah yang spesifik secara cepat.

(3) Genjitsu  : Genjitsu (real fact) berarti situasi aktual atau fakta nyata yang bukan berbentuk teori. Ketika melakukan proses genbutsu melihat secara visual permasalahan yang ada maka harus ditindaklanjuti dengan suatu usaha untuk mengetahui lebih detail dengan memeriksa setiap penyebab potensial untuk mengetahui akar permasalahan yang sebanarnya. Kita perlu terus-menerus bertanya pada diri sendiri 'Mengapa' dengan melihat proses kerja yang dilakukan dan memastikan bahwa alat ukur & data yang kita peroleh telah akurat.

Awalnya, pengenalan genba kandri (shopfloor manajement) ini dirancang untuk dioperasikan oleh orang-orang yang 'melakukan' pekerjaan dan bukan orang-orang yang mengelola 'pekerjaan. Hal ini memungkinkan pemimpin tim dan operator untuk memahami kinerja suatu perusahaan dalam kontek proses produksi berbasis kinerja masing-masing kelompok kerja dengan menyoroti penanggulangan permasalahan yang muncul sebagai tindakan di mana perubahan perlu dilakukan melalui pengidentifikasian akar suatu permasalahan.

Esensi Shopfloor Managemen

Sekalipun banyak alternatif dalam penetapan elemen penting dalam penerapan shopfloor manajemen, namun mayoritas perusahaan worldwide level yang berbasis lean manajemen menetapkan elemen yang paling esensial dalam pelaksanaan penerapan konsep "New Shopfloor Manajemen" meliputi : 

1.   Visi  pencapaian target berbasis nilai.

Setiap perusahaan maju pasti memiliki visi-misi yang ditopang dengan nilai-nilai perusahaan/organisasi sebagai landasan yang kuat dalam menjalankan aktivitasnya. Suatu nilai tidak akan berarti tanpa aksi yang strategis dan sistematis hingga berwujud budaya perusahaan yang kuat. Nilai-nilai perusahaan harus dibagun yang bermuara hingga menyentuh tatanan kepemimpinan kelompok yang berada di jalur shopfloor area. 

Hal ini sangat penting karena urgensi nilai, harus selalu disikapi sebagai membangkit sprit dan perekat yang utuh dalam menjalankan operasional perusahaan. Begitu pentingnya nilai-nilai perusahaan dalam menopang tercapainya visi sebagai petunjuk arah bagi pekerja yang ingin mengidentifikasi emosional dan menuntut mereka untuk melakukan pekerjaannya dengan rasa memiliki yang tinggi. Dengan mengetahui tujuan dan cara bagaimana agar memuaskan pelanggannya melalui penyesuaian nilai sesuai visi dapat mengubah perilaku anggotanya dalam menyelesaikan pekerjaan dengan makna yang besar dan hasil yang maksimal.

Dalam keberhasilan penerapan Genba kandri (Shopfloor Management) dalam konteks TPS di Toyota misalnya, visi yang menjadi pilar nilai-nilai yang harus diterapkan dalam menyikapi pekerjaan sehari-hari dapat menyatukan wawasan karyawannya dalam berperilaku untuk mencapai tujuan yang ditargetkan meliputi : (1) Challenge (Tantangan) : mempertahankan visi jangka panjang dan berusaha untuk memenuhi semua tantangan dengan keberanian dan kreativitas yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi tersebut ; (2.) Kaizen, yang berarti berjuang untuk perbaikan terus-menerus. Karena tidak sebuah prosespun dapat dinyatakan sempurna untuk selamanya, selalu ada ruang untuk perbaikan. (3) Genchi Genbutsu : Pergi ke sumber terjadinya masalah demi menemukan fakta-fakta untuk membuat keputusan yang benar, membangun konsensus dan mencapai tujuan. (4). Respect (Menghormati): menghormati orang lain sebagai usaha untuk memahami orang lain, menerima tanggung jawab dan melakukan yang terbaik untuk membangun rasa saling percaya. (5.) Teamwork (Kerja sama ):  merangsang pertumbuhan pribadi dan profesional, saham peluang untuk pengembangan dan memaksimalkan kinerja individu dan tim. 

2.   Pelatihan & mengajarkan orang (training & teach people).

Pengarahan dan Pelatihan
Keberhasilan sistem manajemen yang efektif dan prosepektif di area shopfloor bermuara dari kesiapan sumber daya melalui pendekatan pelatihan yang progresif serta  pemberian arahan (coaching) dari pemimpin kelompok kerja yang harus dilakukan secara terus menerus yang disusun dalam suatu perencanaan pengembangan sumber daya yang sustainable. 

Tipikal pemimpin yang diperlukan dalam kontek manajement shopfloor adalah mengajar orang lain, tidak perduli berapapun banyaknya ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Karena tanpa kemampuan mengajar, memberikan arahan sebagai bentuk pengembangan karakter dan mindset, seseorang pemimpin tidak dapat menyebarkan pengetahuannya kepada orang lain. Jika ketrampilan dan pengetahuan yang dimilikinya tidak disebarkan kepada orang lain, perusahaan/organisasi tidak akan tumbuh dan berhasil dengan baik. 

Terinspirasi dengan  pengalaman Konosuke Matsushita setiap kali melakukan kunjungan ke kliennya yang selalu mendapatkan pertanyaan “Apakah  yang dibuat oleh matsuhita electric?  Dengan spontan pionir Matsuhita Group itu  selalu menegastakan bahwa “Matsuhita Electric fokus untuk membuat orang (create people) dan kami juga memproduksi peralatan listrik dan berbagai produk lain” 

Matsushita menyadari betul akan pentingnya pengembangan sumber dayanya dalam menstabilkan operasional perusahaan. Saat itu moto yang merupakan nilai bagi Matsisitha Electric adalah “ Bisnis berakar pada sumber daya manusia” yang berarti bahwa hanya dengan mempersiapkan pekerja yang terdidik, maka mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang berkecimpung dalam bisnis yang ditekuni. Oleh sebab itu meskipun produk yang di produksi oleh matsuhita penting, yang dilakukan dengan baik maka pertama-tama kita harus fokus untuk mengembangkan orang-orang yang melakukan pekerjaan.

3.    Kepemimpinan Kelompok kerja berbasis Kaizen

Shopfloor Leader
Kepemimpinan shopfloor manajemen merupakan figure yang mempertanggung jawabkan kinerja kelompok yang mampu menterjemahkan visi perusahaan dalam kontek aktivitas kelompok dalam  menjalankan proses produksi. Pemimpin kelompok kerja dalam hal ini selalu berdiri di jalur garis depan yang berjenjang, mulai dari team leader sampai group leader yang sebagian besar diperankan oleh seorang supervisor lapangan. 

Pimpinan kelompok diarahkan untuk selalu mendukung aktivitas produksi secara lansung, meningkatkan sistem kerja, mengidentifikasi semua permasalahan yang muncul dan memimpin perubahan dengan selalu memberi arahan kedepan dalam mengembangkan anggota kelompoknya. Hal ini dilakukan karena  melalui kemampuan memimpin, mengajar dengan pengetahuan pekerjaan yang memadai akan mampu mendorong dan memotivasi anggotanya dalam melakukan inovasi melalui perbaikan secara terus menerus dengan mentrasfer kemampuan yang dimilikinya kepada tim agar mencapai sasaran harian jangka pendek dan jangka panjang yang ditentukan. 

Pemimpin shopfloor selalu konsisten dalam menganalisa pekerjaan di areanya, mencari cara yang efisien untuk menggabungkan, mengatur ulang, menyederhanakan tugas agar menghasilkan pemanfaatan yang efisien dalam pengelolah ”material, mesin, tenaga kerja, metoda kerja, lingkungan kerja, melalui pendekatan pola pikir yang selalu  mendorong bawahannya untuk melakukan perbaikan berkesinambungan dari berbagai aspek yang terkait dengan sikap dan aspek teknik dalam bekerja.

Dalam filosofi Kaizen, peningkatan yang kecil lebih baik dari pada perbaikan besar yang sedikit lalu berhenti dan tidak berkesinambungan.  Kaizen adalah bagaimana membuat agar pekerjaaan lebih mudah. Metoda kerja yang paling muda bukan berarti cepat dan  paling nyaman tapi jug harus paling cepat dan kondusif dalam menciptakan kualitas yang baik. Kaizen adalah wadah untuk menciptakan produktivitas karena mampu mengidentifikasi dan menghilangkan kejanggala-kejanggalan dan mengatasi pemborosan kerja seperti dalam proses bending, walking, peregangan, menjangkau,meraba dan double handling. namun klise tentang bekerja cerdas bukan lebih keras sering tidak tercermin dalam cara kita membayar orang

Efektifitas seseorang pemimpin di shopfloor area didasarkan atas empat hasil kinerja kunci adalah mampu mencapai indikator keberhasialan dalam proses produksi yaitu Quality, Cost & Productvity –Delivery-Safety-Moral. Untuk meningkatkan ke 6 elemen keberhasilan produksi akan optimal jika pemimpin shopfloor menggirng anggota kelompoknya untuk agar selalu terlibat dalam proses perbaikan terus menerus (continuaous improvement) serta proses pelatihan yang efektif.

4.   Komunikasi Reguler (Regular Communication)

Komunikasi regular dalam group kerja
Untuk menjamin komunikasi yang efektif diperlukan jadwal rapat (meeting) yang standar yamg menunjang pelaksanaan komunikasi secara regular (regula communication) dan diskusi penanggulangan permasalahan maupun perbaiakan kedepan diberbagai level yang menunjang aktivitas shop floor manajemen.Regular komunikasi  yang  baik sangat  penting dan mempengaruhi kinerja dalam mencapai visi yang diinginkan. Pada tingkat yang palin mendasar, karyawan yang tidak mengetahui visi yang ditargetkan akan jarang memotivasi setiap orang untuk mengekuarkan potensi yang dimilikinya dan karyawan tidak akan tahu apa yang diharapkan khususnya menyangkut informasi penting seperti kehadiran, semangat, kinerja, produktivitas dan problem apa yang sedang menjadi isu utama sehari-hari.  

Dalam berbagai survei yang banyak dilakukan dibeberapa level perusahaan menyimpulkan bahwa kelompok kerja yang berkomunikasi secara efektif jauh lebih mungkin dan berkinerja baik dibandingkan perusahaan yang tidak mengkomunikasikan kinerja melalui kumunikasi yang reguler dan mengabaikan "keterlibatan karyawan". 

5.  Transparansi dan Visualisasi

Dalam manajemen shopfloor berlaku filosofi manajemen bahwa “you can’t manage if you can’t measure”. Dengan demikian tindakan mengukur, mendata pencapaian, permasalahan yang muncul, perbaikan yang telah dilakukan marupakan hal yang perlu diketahui oleh semua tim kerja serta siapa saja yang ingin mengetahui kinerja suatu kelompok secara tranparant dan tervisualisasi. Traspransi dimaksudkan agar semua informasi pencapaian kinerja harus terapdate di papan skor (scoreboard) terlepas dari hasilnya baik maupun buruk sebagai informasi baru untuk selalu terpantau sabagai dasar dari pengambilang keputusan maupun tindakan dalam mengontrol jalannya proses produksi.  Pencatatan kinerja yang ditempatkan di area papan skor (scoreboard) kelompok kerja haruslah selalu akurat dan efektif yang dijelasakan dalam tampilan yang transparan dengan penempatan yang mudah di jangkau/dilihat oleh siapa saja khusunya anggota kelompok dan pihak manajemen. 

Visualisasi yang dalam bahasa jepang dikenal dengan ( miuruka) dalam shopfloor manajemen di bagi 2 bagian yaitu  :
                                                                                                                            
- Visualisasi kinerja & status kerja.

Cth : Visualisasi Status Pencapaian
Visualisasi menyangkut informasi pencapaian kuantitas (production achievement), kualitas (quality), Key Performance Indikator (KPI), status masalah yang muncul (problem identification status), proses penyelesaian masalah (problem solving proses), Efisiensi kerja, Kaizen (continuous Improvement status), hasil inspeksi/audit pekerjaan yang terstandarnisasi, status inspeksi 5S, 7 Pemborosan (7 waste), Status Karyawan (Employee Status) seperti Training/Competence Matrix, Training Plan, informasi terbaru yang perlu diketahui oleh karyawan dll.

- Visualisasi petunjuk standard kerja ;

Cth : Visualisasi Tempat Kerja
Visualisasi petunjuk standard kerja merupakan arahan/petunjuk elemen yang berinteraksi dalam sistem kerja di area shopfloor seperi; instruksi keamanan (safety instruction), instruksi kerja standar (standard sorking instruction), petunjuk jalur pergerakan, peta penempatan karyawan (operator job assignment), Tanda garis batas (border line), Label Identifikasi Peralatan, label mesin dan materials yang informatif dll.

Sebuah visualisasi yang transparan merupakan data kunci dalam menyampaikan informasi serta berfungsi untuk meningkatkan kinerja manajemen sehingga harus benar-benar terdefinisi dengan jelas dan mudah difahami bagi setiap orang yang melihatnya (informatif). Data yang komprehensif yang tervisualisasi adalah kunci utama sebab karyawan yang selalu mengacuh kepada visi dalam bekerja haruslah diberi informasi visual yang ter-update setiap saat serta mudah dipantau oleh siapapun yang ingin mengetahui.


7.   Genchi Gembutsu (Blusukan/Factory Walk)

Percaya itu adalah baik dan akan lebih baik dan bijak lagi jika selalu berkunjung ketempat kerja/kejadian untuk melihat secara jelas dan faham  terhadap kondisi maupun permasalahan yang sebenarnya sedang terjadi.

Dalam konteks manajemen Jepang kalimat diatas dapat diistilakan sebagai Genchi Gembatsu yang secara harfiah berasal dari bahasa Jepang, yaitu „Pergi dan lihat permasalahan di lapangan“ atau “Go and See the Problem”. Genchi Genbutsu bukan sekedar teori, melainkan lebih menekankan pada praktek dengan melakukan observasi lansung untuk memahami masalah tersebut lebih dalam (real fact) di ditempat terjadinya masalah (real place) supaya paham terhadap persoalan yang ada sebagai dasar untuk melakukan perbaikan yang akurat, cepat dan tepat.

Sebagai suatu yang menjadi bagian integral dari Toyota Production System. Seperti apa Genchi Genbutsu ini? Taichii Ohno, penemu konsep Toyota Production System, menggambarkannya dengan cara membedakan konsep "data" dengan "fakta". Data dan fakta punya perbedaan yang sangat besar. Misalnya, melihat data mengenai rusaknya suatu mesin dengan melakukan observasi langsung di tempat kejadian sangatlah berbeda. "Data  tentu saja penting dalam organisasi, tapi saya menempatkan penekanan terbesar pada fakta." (Taichi Ohno).

8.   Proses Peneyelesaian Masalah (Problem Solving Process)

Cth : Lembaran A3 Problem Solving
Kebalikan dari masalah adalah peluang, sehingga setiap permasalahan baru yang terjadi merupakan peluang yang berpotensi untuk melakukan perbaikan agar permasalahan yang sama tidak terjadi kembali (secara berulang).

Kelompok kerja (working group) dibawah kendali group leader/supervisor berperan sebagai gugus yang paling depan dalam mengatasi setiap permasalahan yang terjadi dengan melibatkan semua anggota group. Kasus per kasus yang permaslahan yang muncul harus tercatat pada lembaran identifikasi problem solving yang tersedia di papan hasil (scoreboard) yang dapat teridentifikasi secara visual dan transparan di ”areal small company” yang ada masing kelompok kerja

Tindakan penyesaian masalah  harus berawal dari kelompok kerja yang di pimpin group leader untuk melakukan proses penyelesaian masalah dengan melibatkan anggota kelompok kerja yang ada. Ketika suatu kelompok kerja tidak mampu memutuskannya permasalahan yang disebabkan karena tingkat kesulitan yang diluar wewenangnya maka penyelesaian permasalahan haruslah tereskalasi secara bertingkat di level mananjemen lebih tinggi sesuai dengan bobot tingkat kesulitan yang muncul.

Memahami penanganan setiap masalah selalu membutuhkan pengalaman lapangan, dengan melakukan serangkaian pertanyaan eksploratif yang tepat sasaran, mampu membedakan antara gejala dan akar permasalahan, serta obyektifitas yang tinggi. Kenapa, karena ketika permasalahan ditemukan maka maka seringkali yang keluar pertama kali bukanlah akar permasalahannya, namun masih gejalanya. Akar permasalahan bisa jadi pada lokasi yang berbeda, waktu yang lampau atau pada bagian lain.

Kondisi demikian diperlukan seorang pemimpin kelompok kerja harus terlatih dalam melakukan analisa dengan menggunakan kaidah penyelesaian masalah seperti 7 langkah (7 steps) penyelesaian masalah dengan system Plan-Do-Check-Action (PDCA), pengumpulkan bukti, menemukan hal-hal yang baru dengan pendekatan “5-Why” untuk mengidentifikasi akar permasalahan sebagai sumber suatu masalah menjadi jelas, dimana pada saat itu pemikiran yang baik akan menghasilakan pemecahan terbaik, sangat efektif dan terstruktur, dengan berbiaya rendah tapi tidak berkualitas rendah.

Analisa yang efektif merupakan hal yang penting untuk menemukan dan memahami banyak penyebab potensial masalah. Dari banyak penyebab potensial tersebut, kita perlu mempersempit dan memusutkan perhatian pada yang paling signifikan.

Suatu lingkungan yang dapat memberikan keleluasaan pada setiap orang untuk dapat terbiasa mengeksplorasikan permasalahannya di tempat kerja. Dengan adanya eksplorasi masalah akan memancing karyawan lainnya untuk ikut memberikan kontribusi ide dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Dengan demikian krativitas karyawan dalam problem solving menjadi terasah

9.   Pengontrolan Proses berbasis standar (Standard based Process Control)

Audit Standar Proses
Setiap petunjuk pekerjaaan pada dasarnya di buat untuk menetapkan aturan dalam melakukan proses pengerjaan yang terstandarnisasi, sekalipun banyak kalangan yang mengatakan bahwa menempatkan pekerjaan terstandarnisasi dimaksudkan agar operator/karyawan yang bersangkutan dapat mengacuh padanya ketika melakukan pekerjaan yang ditugaskan.

Petujuk pekerjaan terstandarnisasi seperti petujuk instrksi kerja (working instruction) harus dimengerti dengan baik dan ditempatkan pada posisi yang strategis di area kerja operator. Hal ini dimaksudkan disamping dapat terlihat dengan mudah oleh operator yang bersangkutan juga dapat dijadikan acuan ketika team leader dan group leader yang bertanggung jawab agar memudahkan dalam proses pengecekan keabsahannya selama melakukan audit pekerjaan yang terstandarnisasi.

Tindakan pelaksanaan dalam pengendalian proses berbasis standard harus dilakukan melalui proses audit yang terjadwal secara terus merenerus, hal ini dimaksudkan semata-mata untuk mempertahankan dan menjamin stabilitas penerapanan proses secara konsisten.Operator seringkali didapatkan menyimpang dari pekerjaan terstandarnisasi  karena suatu masalah seperti pelakukan pekerjaan yang berulang-ulang. Tindakan pengontrolan berbasis standar di maksdukan sebagai sebuah identifikasi dan analisa yang merupakan dasar dalam melakukan penegotrolan terhada pekerja agar konsisten terhadap proses kerja yang telah ditetapkan.

Ada dua hal yang menyebabkan perlunya dilakukan audit. Pertama adalah ditemukannya suatu masalah, apa yang menyebabkan timbulnya suatu masalah, apa yang menyebabkan kelambatan proses prosuksi. Kedua mungkin memang sudah saatnya untuk audit untuk menjamin stabilitas penerapan pekerjaan yang terstandarnisasi. Audit memungkinkan ditemukannya penyimpanagan dari metoda standard. Alasan dilakukannya audit adalah untuk menemukan penyebab masalah yang berdampak pada proses dan menjadi awal tindakan untuk perbaikan sebagai dasar perbaikan berkesinambunagan.

Prosedur standard dalam suatu industri meliputi proses kerja standard, rute aliran material dalam pabrik, papa hasil produksi, penggunaan kode warna, kebersihan tempat kerja, fasilitas dan alat yang digunakan, penempatan material yang aman, identifikasi material dll.

Setiap petunjuk pekerjaaan pada dasarnya di buat untuk menetapkan aturan dalam melakukan proses pengerjaan yang terstandarnisasi, sekalipun banyak kalangan yang mengatakan bahwa menempatkan pekerjaan terstandarnisasi dimaksudkan agar operator/karyawan yang bersangkutan dapat mengacuh padanya ketika melakukan pekerjaan yang ditugaskan.

Petujuk pekerjaan terstandarnisasi seperti petujuk instrksi kerja (working instruction) harus dimengerti dengan baik dan di tempatkan pada posisi yang strategis di area kerja operator. Hal ini dimaksudkan disamping dapat terlihat dengan mudah oleh operator yang bersangkutan juga dapat dijadikan acuan ketika team leader dan group leader yang bertanggung jawab agar memudahkan dalam proses pengecekan keabsahannya selamamelakukan audit pekerjaan yang terstandarnisasi.

Tindakan pelaksanaan dalam pengendalian proses berbasis standard harus dilakukan melalui proses audit yang terjadwal secara terus merenerus, hal ini dimaksudkan semata-mata untuk mempertahankan dan menjamin stabilitas penerapanan proses secara konsisten.
Operator seringkali didapatkan menyimpang dari pekerjaan terstandarnisasi  karena suatu masalah seperti melakukan pekerjaan yang berulang-ulang. Tindakan pengontrolan berbasis standar di maksdukan sebagai sebuah identifikasi dan analisa yang merupakan dasar dalam melakukan penegotrolan terhada pekerja agar konsisten terhadap proses kerja yang telah ditetapkan.

Ada dua hal yang menyebabkan perlunya dilakaukan audit. Pertama adalah ditemukannya suatu masalah, apa yang menyebabkan timbulnya suatu masalah, apa yang mentebakan kelambatan proses prosuksi. Kedua mungkin memang sudah saatnya untuk audit untuk menjamin stabilitas penerapan pekerjaan yang terstandarnisasi. Audit memungkinkan ditemukannya penyimpanagan dari metoda standard. Alasan dilakukannya audit adalah untuk menemukan peneyebab masalah yang berdampak pada proses dan menjadi awal tindakan untuk perbaikan sebagai dasar perbaikan berkesinambunagan.

Prosedur standard dalam suatu industri meliputi proses kerja standar, rute aliran material dalam pabrik, papa hasil produksi, penggunaan kode warna, kebersihan tempat kerja, fasilitas dan alat yang digunakan, penempatan material yang aman, identifikasi material dll. (by : Syar Lantory)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar