Selasa, 26 Februari 2013

Knowledge Management Pada TOYOTA



Knowledge merupakan asset kunci agar suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif yang kontinu. Saat ini sebuah perusahaan memiliki keunggulan bukan lagi disebabkan oleh mesin dan fasilitas fisik produksi yang dimilikinya, tetapi oleh asset knowledge-nya. Asset knowledge dapat berupa keterampilan dan talenta karyawan, strategi dan produk dan layanan yang inovatif, proses bisnis dan jaringan.

Aset knowledge inilah yang memberikan kontribusi utama dalam menciptakan kekayaan dan daya saing perusahaan. Daya saing tidak lagi tergantung pada asset fisik (mesin, gedung, dan fasilitas fisik lainnya), karena setiap perusahaan juga dapat membeli asset fisik yang sama bahkan yang lebih baik. Untuk mengelola asset knowledge inilah knowledge management lahir dan perlu diterapkan.

Senjata rahasia Toyota yang paling terkenal adalah sistem manufakturnya yang brilian dan tidak orthodoks. Sistem ini diperkenalkan pada pertengahan abad 20 yang dikenal dengan Toyota Production System (TPS). Sistem ini memungkinkan Toyota dapat merespons permintaan pasar yang fluktuatif dan mampu memproduksi model dengan cepat serta keunggulan dalam hal operasional logistik, mudah dipantau dan menjaganya tetap rendah.

Seiring berkembangnya waktu, terjadi perubahan dalam manajemen yang cukup langka yakni perubahan dari masyarakat industri menjadi masyarakat pengetahuan. Ketika masih berada pada tahap masyarakat industri, manajemen memfokuskan pada jalur perakitan, mesin, robot, dan otomasi. Sedangkan masyarakat pengetahuan, yang saat ini dipakai, manajemen fokus pada kecerdasan yang mendalam.

Toyota telah membentuk satu model manajemen baru yang sesuai dengan era pengetahuan. Cara yang ditempuh yakni dengan melihat industri otomotif sebagai industri yang dimotori pengetahuan dimana pertumbuhan bukan saja tergantung pada efisiensi operasional melainkan juga pada kemampuan orang dan organisasinya. Model manajemen pengetahuan milik Toyota melakukan pendekatan yang lebih manusiawi bagi produk-produk industri karena lebih menempatkan manusia, bukan mesin, pada titik pusat segalanya.

Perusahaan melihat para pekerja pabriknya sebagai pekerja pengetahuan yang mengumpulkan kebijaksanaan pengalaman dari jalur produksi. Perusahaan memahami bahwa menumbuhkan ide dari manapun seperti dari pabrik, kantor dan sebagainya mempunyai arti penting dalam industri yang dimotori pengetahuan.

Kerangka Teori
Michael Planyi seorang ahli kimia merupakan orang pertama yang memperkenalkan bahwa knowledge terdiri atas dua jenis yaitu tacit knowledge dan explicit knowledgetacit knowledge merupakan knowledge yang diam di dalam benak manusia dalam bentuk intuisi, judgement, skill, values, dan belief yang sangat sulit diformalisasikan dan di-share dengan orang lain, sedangkan explicit knowledge adalah knowledge yang dapat atau sudah terkodifikasi dalam bentuk dokumen atau bentuk berwujud lainnya sehingga dapat denganmudah ditransfer dan didistribusikan dengan menggunakan berbagai media.

Ada satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dari knowledge management karena menjadi salah satu legenda dalam Knowledge Management yaitu knowledge spiral yang dikenalkan oleh Ikujiro Nonaka dengan bukunya The Knowledge-Creating Company. Ikujiro Nonaka membuat suatu formulasi yang kita kenal dengan nama SECI atau Knowledge Spiral.

Inti konsepnya dalam knowledge spiral bahwa pengetahuan itu mengalami proses bilamana digambarkan akan berbentuk spiral. Proses itu antara lain Externalization – Combination – Internalization – Socialization.

1.   Sosialisasi merupakan proses sharing dan penciptaan tacit knowledge melalui interaksi dan pengalaman langsung. Sosialisasi meliputi sharing information dan komunikasi tacit knowledge ke orang lain misalnya dengan cara rapat bersama dalam kantor. Agar lebih efektif, ketika akan sharing diusahakan mengambil suatu tempat dimana terdapat orang-orang yang memiliki kesamaan sudut pandang sehingga nantinya bisa berjalan efektif. Jika dalam perusahaan, meeting seperti ini biasa dilakukan misalnya team meeting atau meeting satu departemen yang sama.

2.   Eksternalisasi merupakan pengartikulasian tacit knowledge menjadi explicit knowledge melalui proses dialog dan refleksi. Proses ini mengubah tacit knowledge menjadi explicit knowledge. Secara natural tacit knowledge sulit dikonversi menjadi explicit knowledge. Proses ini bisa dilakukan dengan mendokumentasikan atau menuliskan know-how dan pengalaman yang didapatkan ke dalam bentuk tulisan artikel atau bahkan buku apabila perlu.

3.   Kombinasi merupakan proses konversi tacit knowledge menjadi explicit knowledge yang baru melalui sistemisasi dan pengaplikasian explicit knowledge dan informasi. Proses ini memanfaatkan explicit knowledge yang telah ada untuk diimplementasikan menjadi explicit knowledge lain. Proses ini bisa dengan mengkombinasikan explicit knowledge yang satu dengan yang lainnya sehingga menjadi explicit knowledge baru. Dengan proses ini, kita bisa meningkatkan skill dan produktifitas.

4.   Internalisasi merupakan proses pembelajaran dan akuisisi knowledge yang dilakukan oleh anggota organisasi terhadap explicit knowledge yang disebarkan ke seluruh organisasi melalui pengalaman sendiri sehingga menjadi tacit knowledge anggota organisasi. Proses ini mengubah explicit knowledge sebagai inspirasi datangnya tacit knowledge. Dengan referensi dari manual dan buku yang ada, kita menemukan pengalaman baru, pemahaman baru dan know-how baru.

Sejak awal tahun 90-an para pakar seperti Alvin Toffler (1990), Robert Reich (1991), James Brian Quinn (1992), dan Peter Drucker (1993) menekankan tentang pentingnya pengetahuan (knowledge) dalam masyarakat dan perekonomian (society and economy) di akhir abad ke-20 dan pada abad ke-21. Menurut Drucker, di era ‘knowledge society’, pengetahuan bukan semata sebagai salah satu sumberdaya (a resource) bersama faktor-faktor produksi tradisional lain seperti buruh, tanah, dan modal, melainkan satu-satunya sumber daya (the only resource).

Menurut Tiwana (2000) Knowledge Management didefinisikan sebagai manajemen knowledge  organisasi untuk menciptakan nilai bisnis dan untuk menghasilkan suatu keunggulan kompetitif.
Siemens (2000) berpendapat bahwa Knowledge Management merupakan  suatu aktivitas sistematis untuk kreasi dan berbagi knowledge sehingga knowledge dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan organisasi
Menurut Garner Group (Koina, 2004) dalam Lumbantobing, manajemen pengetahuan adalah suatu disiplin yang mempromosikan suatu pendekatan terintegrasi terhadap pengidentifikasian, pengelolaan dan pendistribusian semua asset informasi suatu organisasi. Selanjutnya disebutkan bahwa informasi yang dimaksud meliputi database, dokumen, kebijakan, dan prosedur dan juga keahlian dan pengalaman yang sebelumnya tidak terartikulasi yang terdapat pada pekerja perorangan.

Dalam buku yang ditulis oleh Von Krough, Ichiyo, serta Nonaka (2000), dan Chun Wei Choo, (1998) dalam Lumbantobing, disampaikan ringkasan gagasan yang mendasari pengertian knowledge adalah sebagai berikut:
1.  Knowledge merupakan kepercayaan yang dapat dipertanggungjawabkan (justified true believe);
2. Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus terpikirkan (tacit);
3. Penciptaan inovasi secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut;

Berdasarkan beberapa definisi yang menerangkan tentang apa arti dari knowledge management maka dapat disimpulkan bahwa Knowledge management merupakan proses yang terus-menerus harus dilakukan sehingga proses tersebut akan menjadi satu budaya dari perusahaan tersebut, dan akhirnya perusahaan akan membentuk perusahaan yang berbasis kepada pengetahuan.

Pembahasan

Sistem Syaraf Toyota – Versi Manusia World Wide Web

Toyota bekerja dengan asumsi bahwa setiap orang mengetahui segalanya karena budaya komunikasinya adalah terbuka dan personal. Informasi mengalir bebas ke atas dan ke bawah hierarki serta menyeberangi fungsi dan level senioritas, meluas hingga ke luar organisasi, yaitu pemasok, customer, dan dealer. Sesuai dengan tradisional khas timur, hubungan personal berarti sangat penting, sehingga dalam dunia Toyota yang sudah berada di era digital sebenarnya masih bersifat analog. Untuk itu dibutuhkan pengembangan keahlian mendengarkan seluruh opini dalam sebuah lingkungan pertukaran yang bebas dan terbuka, serta dalam interaksi empat mata dan hasilnya yaitu akumulasi hubungan dalam satu jaringan yang analog, yang oleh VP eksekutif Yoshimi Inaba dikenal dengan nama ‘Sistem Saraf’.

Seperti sistem saraf pusat di tubuh manusia, sistem saraf Toyota menyebarkan informasi dengan cepat dan simultan ke seluruh bagian organisasi baik organisasi dalam maupun yang beroperasi secara luas di luar negeri. Toyota memandang orang-orangnya sebagai sel sarafnya, sebagai unit structural dan fungsional yang menghasilkan dan menyebarkan sinyal atau denyut elektrokimia untuk bertindak. Orang-orang berperan sebagai neutrontransmiter dari jaringan komunikasinya. Toyota telah menggunakan sistem saraf ini untuk menghindari masalah akibat komunikasi yang buruk yang lazim terjadi di organisasi dengan birokrasi yang besar. Dengan memastikan setiap orang bisa mengetahui segalanya, beragam bagian di Toyota dapat bergerak bersama sebagai satu kesatuan. Dan inilah yang menjadi salah satu keunggulan kompetitif yang dimiliki Toyota.

Sebagai sebuah sistem, Toyota tidak pernah lengkap karena Toyota terus tumbuh dan memproduksi sel saraf baru yang menyebarkan denyut berbeda dalam lingkungan bisnis yang terus berubah. Ada lima karakterisik dalam sistem saraf tersebut:
1.      Penyebaran pengetahuan secara terbuka dan meluas
2.      Kebebasan untuk menyuarakan opini berlawanan
3.      Interaksi empat mata yang kerap terjadi
4.      Mengungkap pengetahuan implisit dalam Toyota Way
5.      Mekanisme pendukung organisasi yang formal dan informal

Penyebaran Pengetahuan Secara Terbuka dan Meluas
Toyota selalu memberikan nilai tinggi bagi komunikasi terbuka antar karvawan dalam berkolaborasi. Untuk memfasilitasi keja tim, para karyawan didorong untuk terlibat dalam Yokoten yang berarti bentangkan atau buka sisi tepi. Slogan “Mari kita yokoten” kerap terdengar di Toyota. Slogan ini bertujuan untuk mendorong setiap orang berbagi pengetahuan dan keahlian pribadi secara terbuka dengan orang lain. Dengan slogan ini pula maka tercipta suatu komunikasi viral yang menghasilkan penyebaran pengetahuan ke semua arah yang lebih efisien.

Organisasi harus bersifat terbuka dan relatif berbentuk datar agar sistem saraf dapat berfungsi dengan baik. Toyota telah menciptakan lingkungan tersebut, terbukda dan datar, dengan menempatkan semua orang bekerja sama dalam satu ruang besar tanpa penyekat. Konsep runag besar disebut dengan nama Obeya. Individu dari kelompok fungsional yang berlainan dalam tim persiapan produksi, seperti teknologi, pengadaan, logistik, produksi dan sebagainya ditempatkan dalam satu ruang besar.

Kemudian, untuk memperkuat komunikasi dan kerja tim, maka dipasanglah informasi tentang proyek di dinding obeya yang berfungsi sebagai “ruang informasi” agar semua orang dapat melihatnya. Proses ini disebut dengan mieruka atau visualisasi. Mieruka lebih efektif dibanding komunikasi terkomputerisasi dalam menjaga agar karyawan tetap mengetahui dan mengikuti perkembangan proyek.

Kebebasan Untuk Menyuarakan Opini Berlawanan

Dalam Organisasi, sebaiknya juga terbuka atas kritik dan kontradiksi agar sistem saraf berfungsi semestinya. Hal ini mengandung maksud bahwa setiap orang bebas menyuarakan opini berlawanan ke manajemen puncak dan kantor pusat. Hal ini membuat satu organisasi di mana tidak seorang pun menyembunyikan kekhawatiran atau persoalan dan dimana diskusi konstruktif berlangsung dengan rutin.

Setiap individu di Toyota diharapkan akan bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar. Otoritas, tanggung jawab, dan akuntabilitas tergantung pada orang itu, bukan pada jabatan atau tahun senioritasnya. Inilah sebah warisan budaya dari praktik jidoka yang terkenal di Toyota Production System. Sebagai contoh, seorang karyawan memiliki kekuasaan untuk menarik tali andon, menghentikan jalur perakitan bila melihat sesuatu yang tidak sesuai standar. Seseorang karyawan yang memilih tali itu mendpat kewenangan dari pemahaman mendalam atas standar kualitas. Dan dasar intinya, jika setiap orang berbagi pengetahuan ini, anda dapat mengandalkan banyak orang seperti mereka untuk menarik tali andon berdasarkan alasan dan pengalaman yang tepat.

Interaksi Empat Mata Yang Kerap Terjadi
Walaupun tidak ada hukuman jika operasional lokal mengabaikan saran kantor pusat atau jika bawahan tidak menaati perintah atasan mereka, penolakan untuk mendengar pihak lain adalah pelanggaran yang serius. Sistem saraf Toyota hanya berfungsi jika informasi dari sumber tersedia bagi setiap orang di organisasi, sehingga disini dibutuhkan interaksi empat mata di lapangan. Menurut Yukitoshi Funo, presiden Toyota Motor Sales, USA, hannya orang-orang yang dilapangan yang memiliki informasi yang sesuai dengan fakta lapangan. Orang-orang di atas mungkin visioner, tetapi mereka yang di bawah yang memiliki informasi aktual tentang apa yang dapat atau apa yang tidak dapat dilakukan.

Para manajer di Toyota jarang mencapai posisi senior tanpa mendapat dan menyerap kehalian mendengarkan sepenuhnya atas apa yang ingin dikatakan karyawan, serta terus bertanya dan menyelidiki untuk memperoleh cara yang lebih baik. Para manajer di Toyota juga jarang mencapai posisi senior jikalau mereka adalah tipe-tipe pengkhotbah. Berkat kebijakan ini, hanya sedikit persaingan antarpribadi di Toyota untuk jenis yang eksis dimana orang-orang berebut posisi untuk mendapat pekerjaan yang mereka inginkan.

Membuat Pengetahuan Laten Menjadi Eksplisit: The Toyota Way 2001
Elemen aktif berikutnya adalah praktik mengubah pengetahuan empiris yang mendalam dan tertutup (pengetahuan laten) menjadi bentuk eksplisit guna memperluas penyebaran di organisasi dengan cara menulis atau melisankan pengetahuan yang telah mereka wujudkan (pengetahuan mendalam berdasarkan pengalaman).

Toyota, dibawah kepimipinan Fujio Cho, memulai inisiatif untuk menuliskan kebijaksanaan para pendiri yang telah diwariskan secara lisan ke beberapa generasi. Semua perkataan dan anekdot dikumpulkan dan dievaluasi untuk membentuk satu set nilai, keyakinan, prinsip, wawasan, dan instuisi bagi perusahaan. Dalam prosesnya terdapat 2 nilai inti sebagai pilar Toyota yakni perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan menghargai orang. Lalu penjabarannya dituliskan dalam sebuah dokumentasi dengan judul The Toyota Way 2001 atau lebih dikenal dengan nama the green book. Pertumbuhan dan keragaman operasional luar negeri telah memicu Fujio Cho untuk merefleksikan kebijaksanaan sesepuh perusahaan dan memikirkan cara untuk menyebarkan pengetahuan mereka di lingkungan baru guna membantu mereka melaksanakan operasional tersebut sehingga The Toyota Way pun akan berkembang seiring perjalanan waktu sehingga The Toyota Way akan direvisi bila perlu di masa depan.

Publikasi The Green Book juga diikuti oleh The Toyota Way ins Sales dan Marketing yang dikenal sebagi Silver Book. Silver Book merupakan dokumentasi filosofi para pendiri perusahaan yang terkait khusus dengan operasional penjualan dan pemasaran. Silver Book ini lalu dikirim ke semua distributor pada Oktober 2002.

Menuangkan kebijaksanaan para pendiri ke atas kertas adalah langkah pertama dalam proses konversi pengetahuan. Langkah selanjutnya (yang lebih penting) adalah bagaimana menyebarkan hal itu ke penjuru organisasi dan diterapkan dalam cara yang dapat diterima sebagai pengetahuan berwujud yang bisa dipahami secara implisit.

Mekanisme Pendukung Formal dan Informal

Mekanisme pendukung formal dan informal telah dibentuk di dalam suatu organisasi dengan tujuan untuk ikut menopang fungsi efektifitas sistem saraf. Ada 2 lembaga yang berperan yaitu pertama Toyota Institute yang berguna membentuk pemimpin dan manajer madya global yang ditanamkan nilai Toyota way, dan kedua Global Knowledge Center yang bertugas untuk menyebarkan The Toyota Way in Sales and Marketing. Kedua lembaga tersebut merupakan mekanisme formal pendukung sistem saraf yang memnungkinkan setiap orang mengetahui segalanya.

Selain mekanisme formal, juga didukung dengan informal dengan mendorong para karyawan untuk bergabung ke beragam kelompok yang terorganisir misalnya berdasarkan fungsi khusus, tahun angkatan, latar belakang pendidikan, tempat lahir, lever manajerial, jenis tugas di pabrik, lokasi pabrik, keahlian, olahraga dan hobby, dan induk organisasi lainnya. Adalah lazim seorang karyawan Toyota di Jepang menjadi anggota kelompok informal ini. Seoran pensiunan pekerja pabrik telah mengingat bagaimana ia berhasil membangun jaringan vertical, horizontal, bahkan diagonal melalui kelompok-kelompok informal seperti itu.
Dengan melibatkan kedalam kelompok informal maka dapat terjalin suatu persahabatan. Orang-orang juga dapat belajar bagaimana cara berkomunikasi dan bisa mendapat berbagai macam informasi dengan ambil bagian di kelompok ini. Fungsi lainnya semisal jaringan vertical memangkas hierarki organisasi, jaringan horizonzal memperluas kontak anda dengan kelompk yang melakukan pekerjaan yang sama atau berbedai lokasi, dan sebagainya.

Kesimpulan
Proses pengembangan produk merupakan proses yang bersifat kolaboratif dan lintas fungsi. Artinya produk baru tidak dihasilkan oleh unit atau fungsi tertentu dalam perusahaan tetapi melibatkan berbagai unit untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan tidak sekedar baru tetapi juga harus laku dan dapat diproduksi dengan semestinya.

Rancangan produk baru biasanya dihasilkan oleh unit riset dan pengembangan, kemudian unit marketing melakukan uji coba apakah rancangan produk tersebut dapat diterima pasar, kemudian baru dievaluasi bagaimana cara memproduksinya oleh unit rekayasa atau operasi (Davenport,1993).
Knowledge Management dapat mengkaselerasi proses pengembangan produk baru, karena Knowledge Management sendiri mempromosikan dan menyediakan media untuk kolaborasi (virtual maupun tatap muka) dan knowledge sharing.

Peran knowledge sharing semakin penting khususnya ketika Knowledge Management tradisional didominasi proses-proses rekayasa pengetahuan berbasis IT, sudah bergeser ke Knowledge Management yang semakin soft, sosial dan humanis. Knowledge Management tradisional didominasi oleh aktivitas dan proses-proses pembangunan berbasis IT dan digitalisasi knowledge dari tacit knowledge menjadi explicit knowledge. Explicit knowledge dikategorisasikan atau diklasifikasikan berdasarkan prinsip-psrinsip taksonomi pengetahuan. Knowledge eksplisit dirancang sedemikian rupa agar dapat diakses dan di-retrieve oleh orang yang membutuhkannya, atau secara sengaja ditransfer ke unit atau orang yang dianggap membutuhkannya. ( Source : Enriche PH)

 
Daftar Pustaka
Davenport, T.H., and Prusak, L. 1998. Working Knowledge. Harvard Business School Press.
Lumbantobing, Paul. 2011. Manajemen Knowledge Sharing Berbasis Komunitas. Bandung. Knowledge Management Society Indonesia.
Nonaka, I., dan Takeuchi, H. 1995. The  Knowledge-Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation. New York: Oxford University
Siemens AG (Dr. Josef Hofer-Alfeis). 2000. Organizing Knowledge Management in a Large Enterprise. APQC KM Benchmark
Tiwana, A. Knowledge Management Toolkit, practical techniques for building a knowledge management system. New Jersey. Prentice Hall PTR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar