Seperti yang kita ketahui bersama gempa di laut Jepang berskala 9 skala
ritcher yang disertai tsunami telah meluluh lantakan Miyagi-ken, Iwate,
Fukushima, Niigata, Sendai dan Okinawa. Tak hanya itu, akibat dari gempa juga
mengakibatkan terbakarnya kilang minyak di Ichinara serta meledaknya reaktor
pembangkit listrik tenaga nukir di Fukushima.
Ribuan orang meninggal dunia dan jutaan lainnya kini terlunta-lunta. Mereka
bertahan hidup tanpa rumah, kekurangan air bersih, serta kekurangan pangan dan
obat-obatan.
Dalam materi yang disampaikannya, Dr. Ary Ginanjar menggambarkan bahwa
karakter moral masyarakat Jepang begitu kuatnya bahkan dalam kondisi yang serba
terbatas sekalipun, sama sekali tidak ada huru-hara ataupun penjarahan,
masyarakat tetap mengantri untuk mendapatkan apapun, bahkan semua super market
menurunkan harga guna meringankan beban masyarakat.
Berbeda dengan bencana di sejumlah negara, seperti pasca gempa dahsyat di Haiti
dan Chili, pasca banjir besar di Inggris 2007, dan pasca badai Katrina di
Amerika Serikat. Di empat negara ini, seluruh warganya menjarah bahan pangan
untuk bertahan hidup.
Kondisi semacam inilah yang menjadi perhatian dunia, begitu kokohnya
moralitas masyarakat Jepang bahkan di tengah bencana, bisa jadi ini merupakan
budaya Jepang yang sudah tertanam begitu dalam di alam bawah sadar mereka. Ada nilai-nilai yang tetap
dijalankan dan dipertahankan dalam kondisi apapun.
Budaya serta pembentukan karakter masyarakat Jepang tidak terbentuk secara
instan atau tiba-tiba, ada sebuah proses panjang yang secara konsisten
dijalankan dan dipertahankan dari masa ke masa serta diturunkan terus menerus
kepada anak cucu. Karakter masyarakat pertama kali dibentuk dan diperkenalkan
oleh para kaum samurai melalui sebuah disiplin moral yang disebut Bushido.
Sebagai sebuah disiplin samurai, Bushido terbagi menjadi 2 periode yaitu
Hagakure Bushido dan Tokugawa Bushido. Namun dari kedua periode tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa inti moral Bushido adalah sebagai berikut :
1. Gi (Integritas) = Seorang samurai harus utuh segala aspek kehidupannya
baik fikiran, perkataan, maupun perbuatan.
2. Yu (Keberanian) = Berani untuk mempertahankan prinsip kebenaran,
bahkan jika harus mengorbankan nyawa sekalipun.
3. Jin (Kemurahan hati) = Bushido memiliki aspek keseimbangan antara
maskulin (yin) dan feminim (yan), Jin inilah yang mewakili sifat feminim. Walau
seorang samurai berlatih pedang dan strategi perang, namun samurai harus
memiliki sifat mencintai sesama, kasih sayang, dan peduli.
4. Rei (Menghormati) = Menghormati ini ditunjukkan melalui kesantunan
dalam cara duduk, berbicara, bahkan dalam memperlakukan benda ataupun senjata.
5. Makoto atau Shin (Kejujuran dan tulus-iklas) = Samurai mengatakan
apa yang mereka maksudkan dan melakukan apa yang mereka katakan. Mereka membuat
janji dan berani menepatinya.
6. Meiyo (Kehormatan) = Seorang samurai memiliki harga diri tinggi,
yang selalu mereka jaga dengan berperilaku terhormat.
7. Chugo (Loyal) = Kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi
dalam melaksanakan tugas, dan puncak kehormatan seorang samurai adalah mati
dalam menjalankan tugas/perjuangan.
8. Tei (Menghormati Orang Tua) = Samurai sangat menghormati orang yang lebih
tua baik orang tua sendiri, pimpinan, maupun para leluhurnya.
Jika diperhatikan lebih dalam, disiplin Bushido ini adalah ajaran yang
bersifat universal (dapat diterima oleh seluruh umat manusia) dan pada umumnya
dianut oleh masyarakat timur (Eastern ethics).
Seorang sahabat bernama Lafolweis memberikan komentar yang sangat dalam di
sebuah artikel yang membahas tentang karakter masyarakat Jepang sebagai berikut
: “Hukum masyarakat yang mengucilkan saya karena perbuatan saya yang
tercela. Heran saja Jepang yang negara maju masih memikirkan (apa)
pandangan/pendapat orang/masyarakat jika dia berbuat salah, sedangkan kita yang
negara berkembang kebanyakan malah berprinsip EGP pendapat orang yang penting
saya tidak 'merugikan' orang lain padahal makna kata merugikan sendiri
kadang-kadang tidak jelas batasannya. Maka tidak heran jika di Jepang sering
kita mendengar orang bunuh diri atau pejabat yang mengundurkan diri jika merasa
bersalah, sementara di Indonesia?”
Ada perbedaan yang sangat mencolok antara Indonesia
dan Jepang walaupun sama-sama sebagai negara timur dan sama-sama mengusung
norma ketimuran. Saya tidak perlu menyebutkan semua perbedaan tersebut, namun
satu hal yang saya ingin garis bawahi adalah bahwa starting point
pembangunan Jepang dan Indonesia
dimulai pada titik yang hampir bersamaan.
Jika Jepang memulai pembangunan pasca hancurnya kota
Hiroshima dan Nagasaki
oleh bom atom Amerika pada Agustus 1945, Indonesia pun memulai pembangunan
pasca kemerdekaannya di Agustus 1945.
Berdasarkan pengamatan saya, bertahannya moral dan karakter masyarakat
Jepang tidak terlepas dari peristiwa Meiji Ishin atau yang dikenal
juga dengan Restorasi Meiji yang terjadi pada tahun 1866 sampai 1869. Pembaruan
ini membawa dampak perubahan yang sangat besar dalam perubahan struktur politik
dan sosial Jepang.
Dalam restorasi Jepang ini Meiji mengusung sebuah konsep yang sangat apik
yaitu penggabungan antara Eastern ethics and Western science, secara
tersirat konsep ini mensinergikan kemajuan berfikir manusia yang tetap mengakar
pada moral dan budaya bangsa.
Hal ini tercermin dalam salah satu ucapan Kaisar Meiji (Prince Mutsuhito)
yang sangat terkenal, “I dreamed of a unified Japan. A country strong,
independent, and modern... Now we have Railroads, Cannon, and Western clothing.
But we cannot forget who we are, or where we come from”.
Zaman boleh berganti, teknologi boleh menjadi lebih canggih, gaya hidup dan perbaikan ekonomi boleh lebih baik, namun
karakter moral dan budaya ketimuran harus tetap dipertahankan, inilah perbedaan
mendasar antara Jepang dan Indonesia.
Sumber : Windmill – Time goes wherever you are
Tidak ada komentar:
Posting Komentar